Manakah yang Lebih Utama, Haji atau Umrah?

Tanya:

Assalamu’alaikum, Barakallahufikum Ustadz.

Ana rencana mau berhaji, tetapi uang ana baru cukup untuk ana sendiri, sedangkan istri ana juga ingin ikut, apakah sebaiknya ana menabung dulu menunggu uang ana cukup untuk berdua istri ataukah sekarang aja pergi haji sendiri? Tetapi jika untuk pergi Umrah bisa cukup untuk berdua mohon nasehat mana yang lebih baik? Wassalamualaikum.

(Abu Panji)

Jawab:

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu. Wa fiikum barakallahu.

Menurut pendapat yang kuat bahwa kewajiban haji harus segera ditunaikan bagi yang mampu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ – يَعْنِي : الْفَرِيضَةَ – فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ

“Bersegeralah kalian berhaji -yaitu haji yang wajib- karena salah seorang diantara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya.” (HR.Ahmad, dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albany di Al-Irwa’ no: 990)

Oleh karenanya kalau antum mampu maka hendaknya segera melakukan ibadah haji dan jangan menunda-nunda. Dan bukan termasuk kewajiban suami membiayai haji atau umrah istri.

Seandainya nanti diberi kemudahan oleh Allah untuk berhaji menemani istri atau istri berhaji bersama mahramnya yang lain maka alhamdulillah. Kalau tidak maka Allah tidak membebani kecuali sesuai dengan kemampuan kita.

Wallahu a’lam.

Ustadz Abdullah Roy, Lc.

 

Bolehkah Berhaji Tanpa Mahram?

Tanya:

Assalamu’alaikum. Gimana kabarnya ustadz?

Ana ingin tanya, bagaimana hukumnya seorang pembantu yang pergi haji/umrah dengan tanpa mahram? Sementara dari Indonesia saja pergi keluar negeri tanpa mahram?
Kedua: Bolehkah seorang perempuan mencari nafkah ke luar negeri karena ingin membahagiakan kedua orang tuanya?

Jawab:

Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah khair.

Akhi fillah, seorang wanita yang beriman tidak boleh bepergian jauh (safar) tanpa adanya mahram, entah itu untuk mencari uang atau untuk beribadah seperti haji dan umrah. Dan pelakunya berdosa. Karena keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu:

( لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ) ، فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ ؟ فَقَالَ : ( اخْرُجْ مَعَهَا ! )

Artinya: “(Tidak boleh seorang wanita bepergian jauh kecuali bersama mahramnya, dan tidak boleh berdua dengan laki-laki asing kecuali disitu ada mahramnya). Berkata seorang laki-laki: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku ingin keluar berjihad bersama pasukan ini dan ini, sedangkan istriku ingin berhaji? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (Pergilah bersama istrimu!).” (HR. Al- Bukhary – Muslim).

Dalam hadist di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita bepergian jauh kecuali dengan mahram, bahkan menyuruh orang yang mau pergi berjihad untuk menemani istrinya yang mau pergi haji. Jadi wanita bepergian harus bersama mahram untuk ibadah atau untuk yang lain. Hal ini tidak lain kecuali demi kebaikan wanita tersebut. Betapa banyak kita dengar kejadian-kejadian yang menyedihkan akibat perginya seorang wanita tanpa mahram. Bahkan ketika ibadah haji. Na’udzubillah min dzalik.

Kalau seorang wanita nekad berhaji atau umrah tanpa mahram maka haji dan umrahnya sah, akan tetapi dia berdosa.
Perlu diketahui bahwasanya wanita yang tidak punya mahram atau mahramnya belum mampu maka wanita tersebut berarti belum mampu dan tidak wajib untuk haji. Allah akan memberi pahala atas niatnya meski dia meninggal dalam keadaan belum berhaji.
Adapun perginya seorang wanita muslimah ke luar negeri untuk mencari uang dengan alasan membahagiakan orang tua dan lain- lain , maka hukumnya tetap tidak boleh kalau tanpa mahram. Karena haji saja yang merupakan rukun islam kelima, dan ibadah yang dilaksanakan untuk mencari ridha Allah saja seorang muslimah harus pergi bersama mahram, apalagi perkara-perkara dunia. Jadi niat yang baik harus diiringi cara yang baik .

Semoga Allah memperbaiki keadaan kita.

Ustadz Abdullah Roy, Lc.

Apakah Istri Paman Adalah Mahram?

Tanya:

Assalamu’alaikum ustadz, ana mau bertanya masalah mahram. Telah dijelaskan dalam Al Qu’ran siapa saja yg termasuk mahram. Yang menjadi pertanyaan ana, apakah ana (dalam kasus ini kedudukan sebagai lelaki) memiliki paman (baik dari ayah atau ibu) kemudian paman tersebut menikah (bibi), bibi menjadi mahram? Berdasarkan Al Qu’ran bibi (dari pernikahan paman) tidak disebutkan sebagai mahram, berarti bibi dlm kondisi tersebut bukan mahram? Karena yang disebutkan mahram yaitu bibi dari saudara ibu atau ayah secara langsung bukan akibat pernikahan dengan paman. Mohon penjelasannya ustadz, biar yakin dan tidak salah. Jazakallahu khoiron

(Ummu Aufa)

Jawab:

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Seorang wanita tidak menjadi mahram bagi kita hanya sekedar dinikahi oleh paman (baik dari ayah atau ibu), karena yang demikian tidak ada dalilnya. Adapun saudara perempuan ayah atau ibu maka termasuk mahram sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nisa: 23.

Berkata Al-Lajnah Ad-Daimah:

زوجة العم وزوجة الخال ليستا محارم لابن الأخ والأخت

“Istri paman dari ayah dan paman dari ibu keduanya bukan termasuk mahram bagi anak laki dari saudara laki-laki maupun saudara wanita” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/433)

Wallahu a’lam.

Ustadz Abdullah Roy, Lc.

Apakah Thawaf Disambung Dengan Sa’i?

Tanya:

Bismillah, ustadz. Apakah dalam tata cara haji tammatu setelah melaksanakan thawaf wada langsung disambung dengan sa’i? Dikarenakan ada KBIH (kelompok bimbingan ibadah haji) di kota saya yang melaksanakan seperti itu. Apakah ada dalilnya? Jazakallah khairan.

(Endang)

Jawab:
Sa’i hanya ada 2 macam: Sa’i haji dan sa’i umrah, dan tidak ada yang ketiga.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ).البقرة:158)

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai di antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Qs. 2: 158)

Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin:

لا يجوز التطوع بالسعي ، لأن السعي إنما يُشرع في النُّسك ، الحج والعمرة

“Tidak boleh mengamalkan amalan sa’i yang tathawwu’ (bersifat dianjurkan), karena sa’i hanya disyari’atkan ketika haji dan umrah.” (Fatawa Arkanil Islam hal:540-541).

Dan orang yang berhaji tamattu’ maka dia melakukan kedua jenis sa’i ini.

Dalilnya hadist Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary di dalam shahihnya secara mu’allaq majzum bihi:

عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه سئل عن متعة الحج، فقال: أهل المهاجرون والأنصار وأزواج النبي صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع وأهللنا، فلما قدمنا مكة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اجعلوا إهلالكم بالحج عمرة إلا من قلد الهدي، فطفنا بالبيت وبالصفا والمروة، وأتينا النساء ولبسنا الثياب وقال: من قلد الهدي، فإنه لا يحل حتى يبلغ الهدى محله، ثم أُمرنا عشية التروية أن نهل بالحج، فإذا فرغنا من المناسك جئنا فطفنا بالبيت وبالصفا والمروة

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya beliau ditanya tentang haji tamattu’, maka beliau berkata: Orang-orang Muhajirin dan Anshar serta para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berniat haji pada waktu haji wada’, demikian pula kami. Ketika sampai Mekah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jadikanlah niat haji kalian niat umrah, kecuali orang yang membawa sembelihan. Maka kami thawaf di ka’bah dan sai di shafa dan marwah kemudian mendatangi istri kami dan memakai pakaian. Kemudian beliau berkata: Barangsiapa yang membawa sembelihan maka tidak boleh tahallul sampai waktu penyembelihan (yaitu tanggal 1o dzulhijjah). Kemudian kami pada hari tarwiyyah (tanggal 8 dzulhijjah) kami diperintah untuk niat haji, dan ketika kami sudah menyelesaikan manasik, kamipun thawaf di ka’bah dan sa’i di shafa dan marwah.”

Adapun sa’i khusus setelah thawaf wada’ maka ini tidak ada dalilnya.

Berkata Syeikh Abdul Aziz bin Baz:

فإن كان في خارج مكة كأهل جدة وأهل الطائف والمدينة وأشباههم فليس له النفير حتى يودع البيت بطواف سبعة أشواط حول الكعبة فقط ليس فيه سعي ؛ لأن الوداع ليس فيه سعي بل طواف فقط

“Apabila dia berasal dari luar Mekah, seperti penduduk Jeddah, Thaif, Madinah dan yang semisalnya maka mereka tidak boleh pergi kecuali setelah thawaf wada’ 7 kali putaran, tanpa sa’i, karena thawaf wada’ tidak ada sa’i, akan tetapi hanya thawaf saja.” (Majmu’ Fatawa Syeikh Abdul Aziz bin Baz 17/398).

Kecuali kalau mereka mengakhirkan thawaf ifadhah sampai mau pulang dan menggabungkannya dengan thawaf wada’ kemudian melakukan sa’i haji setelahnya maka tidak mengapa, dan tidak harus thawaf wada’ kembali.

Berkata Lajnah Daimah:

إذا لم يطف الحاج طواف الإفاضة إلا عند انصرافه من مكة ، واكتفى به عن طواف الوداع كفاه حتى لو وقع بعده سعي، كما لو كان متمتعا، وإن طاف طوافا ثانيا للوداع فذلك خير وأفضل.

“Apabila orang yang berhaji belum thawaf ifadhah kecuali ketika mau meninggalkan Mekah, dan mencukupkan dengannya tanpa thawaf wada’ maka itu sudah cukup meskipun setelah itu melakukan sa’I (haji), seperti orang yang tamattu’. Namun apabila dia thawaf wada’ setelah itu maka itu lebih baik dan lebih utama.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 11/300-301)

Wallahu a’lam.

Ustadz Abdullah Roy, Lc.

Bolehkah Kita Bertawasul Kepada Nabi?

Pertanyaan:

Sebagian orang yang membolehkan tawassul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shalih yang sudah meninggal dunia, berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّاباً رَّحِيماً

“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-Nisa`: 64)

Kata mereka, ayat ini berlaku umum, baik ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup ataupun sesudah meninggal dunia, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membatasinya. Mereka memperkuat pendapat tersebut dengan kisah yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan Ibnu Qudamah.


Kisahnya, al-Utbi berkata, “Suatu saat, aku pernah duduk di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian datanglah seorang a’rabi (Arab badui) dan berkata, ‘Salam sejahtera atasmu, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yaitu, pada surat An-Nisa`: 64).”

Aku datang kepadamu memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Rabb-ku.” Kemudian dia mengucapkan syair,

Wahai sebaik-baiknya orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini.
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu.
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu.
Di sana terdapat kesucian, kemurahan, dan kemuliaan.

Orang badui itu lalu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berkata, “Wahai Utbi, kejarlah si a’rabi tadi. Sampaikan kabar gembira kepadanya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni dosanya.”

Bagaimana keabsahan kisah ini? Adakah komentar ulama tentang masalah ini?

Jawaban:

Pemahaman ini tidak benar, ditinjau dari dua segi:

Segi pertama,
yaitu dari segi bahasa. Allah tidak mengatakan seperti dugaan mereka, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّهُمْ  إِذْ ظَّلَمُواْ

Dalam bahasa Arab, “إِذْ” berfungsi untuk menerangkan waktu lampau saja, bukan menunjukkan waktu yang akan datang. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengatakan “إِذَا ظَّلَمُواْ” tetapi mengatakan “إِذْ ظَّلَمُواْ”.

Jadi, ayat ini berbicara tentang realita yang telah terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, sedangkan permintaan agar beliau memintakan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala setelah meninggal dunia adalah perkara yang mustahil.

Alasannya adalah, jika manusia meninggal maka amalannya terputus kecuali tiga, seperti disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan orangtuanya. Dengan demikian, orang yang telah mati mustahil memintakan ampun bagi selainnya. Untuk dirinya saja dia tidak mampu, lantaran amal sudah terputus.

Syekh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsirnya, hlm. 149, berkata, “Kedatangan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini hanya ketika beliau masih hidup, sebab konteks kalimat menunjukkan demikian. Permintaan ampunan dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mungkin dilakukan, kecuali pada masa hidupnya. Adapun setelah meninggal dunia, maka tidak boleh meminta sesuatu pun kepadanya sebab ini termasuk perbuatan syirik.”

Segi kedua, pemahaman ini menyelisihi pemahaman para sahabat.

Tidak ada seorang sahabat pun yang meminta-minta kepada Nabi sshallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia. Bahkan, tatkala kemarau panjang pada zaman Umar, mereka tidak meminta kepada Nabi untuk istisqa` (minta hujan), tetapi mereka meminta kepada Abbad bin Abdul Muthalib dengan doanya, dan Abbad bin Abdul Muthalib hadir bersama para sahabat.

Kalau ada yang berkata, “Bukankah para Nabi hidup di dalam kuburan mereka, sebagaimana para syuhada juga?” Kami jawab, “Benar, tapi kehidupan mereka adalah kehidupan di alam barzah, bukan di alam dunia.”

Ada seorang tokoh agama yang berdalil bahwa para wali itu memiliki kemampuan di kuburnya sehingga dimintai doa. Dia berdalil dengan ayat,

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Qs. Ali Imran: 169)

Lalu, ada seorang yang awam dari kaum muslimin yang menjawab, “Kalau memang bacaannya adalah “yarzuqun” (mereka memberi rezeki), maka itu benar. Akan tetapi, kalau tidak, maka ayat itu malah membantah dirimu sendiri.”

Selain alasan di atas, kisah ini pun tidak shahih, baik secara sanad maupun matan. Berikut ini keterangannya.

Takhrij kisah

Kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman: 2880, Ibnu Najjar dalam ad-Durrah ats-Tsaminah fi Tarikh Madinah, hlm. 147, dan lain-lain, dengan sanadnya kepala Muhammad bin Rauh dari Muhammad bin Harb al-Hilali.

Sanad kisah ini gelap dan lemah. Sanad ilmu Najjar dikatakan oleh Syekh Hammad al-Anshari, ahli hadits Madinah, “Para perawinya tidak dikenal, mulai dari gurunya hingga Muhammad bin Harb al-Hilali.”

Adapun sanad al-Baihaqi dikatakan oleh al-Albani, “Sanad ini lemah dan gelap, saya tidak mengenal Abu Ayyub al-Hilali dan ke bawahnya.” Lanjutnya, “Kisah ini sangat nyata munkar.” Cukuplah kiranya karena kisah ini bermuara kepada seorang badui yang tak dikenal.

Imam Ibnu Abdil Hadi mengatakan, “Adapun kisah al-‘Utbi disebutkan oleh sebagian ahli fikih dan ahli hadits, tetapi kisah ini tidak shahih kepada al-‘Utbi, diriwayatkan dari jalur lain dengan sanad yang gelap.

Kesimpulannya, kisah ini tidak bisa dijadikan landasan hukum syar’i, lebih-lebih dalam masalah ini, yang seandainya disyariatkan, maka tentu para sahahabat dan tabi’in lebih tahu dan lebih bersemangat untuk melakukannya daripada selain mereka.

Mengkritisi Matan Kisah

  1. Kisah ini adalah kisah yang mungkar dan batil karena menyelisihi al-Quran dan hadits. Oleh karena itu, para ahli bid’ah sering menukilnya untuk membolehkan istighasah (meminta pertolongan) kepada Nabi dan meminta syafa’at kepada beliau setelah wafat. Sungguh, hal ini merupakan kebatilan yang amat nyata, sebagaimana dimaklumi bersama.
  2. Ini hanyalah mimpi yang tidak bisa dijadikan landasan hukum syar’i. Sungguh sangat mengherankan! Para ahli bid’ah berpegang kepada kisah seorang Arab badui dan meninggalkan para ulama salaf. Apakah mereka berkeyakinan bahwa orang Arab Badui ini lebih berilmu tentang agama daripada Abu Bakar, Umar, dan seluruh para sahabat yang tidak melakukan perbuatan ini? Kalau demikian, kenapa orang yang berdalil dengan kisah ini tidak kencing saja di Mesjid Nabawi, karena telah shahih dalam Bukhari-Muslim bahwa ada seorang Arab badui pernah kencing di mesjid!

Cukuplah bagi kita tawassul yang disyariatkan seperti tawassul dengan nama dan sifat Allah Ta’ala, amal shalih, serta taat dan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah tawassul yang disyariatkan.

Adapun tawassul-tawassul yang tidak disyariatkan, seperti berdoa atau meminta tolong kepada orang yang telah mati, atau tawassul dengan jah (tuah) Nabi, maka hal ini merupakan tawassul yang dilarang dalam agama. Wallahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Abu Ubaidah pada Majalah Al-Furqon, edisi 10, tahun ke-7, 1429 H/2008 M.

Bolehkah Memakai Pakaian Dalam ketika Ihram?

Tanya:

Assalamuala’kum warohmatullohi wabarokatuh

Ustad bagaimana kabarnya? Afwan, ana mau tanya:
Kalau orang yang umroh dan haji, sewaktu masih pakai pakaian ihram itu diperbolehkan pakai celana dalam? Baik laki- laki maupun perempuan. Jazakalloh khair atas jawabannya.

Wassalamua’laikum warohmatullohi wabarokatuh.

(Hendra Kurnia)
Jawab:

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Alhamdulillah baik. Akhi Hendra, untuk wanita maka ketika ihram pakaiannya seperti di luar ihram (yang penting sesuai dengan aturan syar’i), akan tetapi tidak boleh mengenakan kaos tangan dan niqab (cadar).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ

“Wanita yang ihram tidak boleh memakai niqab dan tidak boleh mengenakan kaos tangan.” (HR. Al-Bukhary)

Namun kalau di depan laki-laki yang bukan mahram hendaknya dia menutupi wajahnya dengan kain.

Sebagaimana dalam hadits Aisyah:

كان الركبان يمرون بنا ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم محرمات فإذا حاذوا بنا أسدلت إحدانا جلبابها من رأسها على وجهها فإذا جاوزونا كشفناه

“Dahulu para laki-laki penunggang kuda melewati kami (para wanita) yang sedang ihram bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau mereka sudah mau lewat maka salah seorang dari kami menurunkan kain jilbabnya dari atas kepala ke wajahnya, dan kalau mereka sudah lewat maka kami menyingkap wajah kami.” (HR. Ahmad 3/60,dan dishahihkan syeikh Al-Albany dalam Hijab Al-Mar’ah hal: 50).

Adapun laki-laki maka tidak boleh mengenakan pakaian yang membentuk badan seperti peci, kopyah, baju, celana luar/dalam, kaos tangan dll.

Larangan mengenakan pakaian di atas berlaku ketika orang tersebut berniat ihram untuk haji atau umrah sampai tahallul. Adapun hanya sekedar memakai pakaian ihram akan tetapi belum berniat ihram maka larangan ini belum berlaku.

Demikian pula ketika sudah tahallul maka dia sudah terbebas dari larangan di atas meskipun masih memakai pakaian ihram. Jadi beda antara berniat ihram dan memakai pakaian ihram.

Wallahu a’lam. Wa’alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh.

Ustadz Abdullah Roy, Lc.

Bolehkah Memotong Rambut dan Kuku Ketika Haid?

Tanya:

Assalammualaikum,

Ada yang bertanya pada saya, katanya seperti ini: “Kalau kita sedang haid boleh tidak memotong rambut ataupun kuku?”

Bukan hanya satu dua orang tapi lebih dari itu. Saya ragu karena memang saya kurang faham, menurut saya tidak ada dalil melarang itu semua, tapi saya masih perlu penjelasan yg lebih akurat, agar mudah untuk saya menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaan itu menurut syar’i yang benar, karena sayapun masih perlu banyak mendalami hal-hal yang seperti ini agar saya juga dapat mengamalkan untuk diri sendiri.  Syukron…wassalamu’alaikum.

(Rahma)

Jawab:

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.

Wanita haidh diperbolehkan memotong rambut dan kuku, karena tidak adanya dalil shahih yang melarang.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhaa ketika haji wada’:

انقضي رأسك وامتشطي وأهلي بالحج ودعي العمرة

“Uraikanlah rambutmu dan sisirlah, kemudian berniatlah untuk haji dan tinggalkan umrah” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dalam hadist ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhaa untuk menyisir rambut dan saat itu beliau sedang haidh, padahal menyisir sangat memungkinkan tercabutnya rambut. Ini menunjukkan bolehnya wanita haidh memotong rambut dan kuku.

Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah:

فالحائض يجوز لها قص أظافرها ومشط رأسها ، ويجوز أن تغتسل من الجنابة …فهذا القول الذي اشتهر عند بعض النساء من أنها لا تغتسل ولا تمتشط ولا تكد رأسها ولا تقلم أظفارها ليس له أصل من الشريعة فيما أعلم

Artinya: “Wanita yang haidh boleh memotong kukunya dan menyisir rambutnya, dan boleh mandi junub, … pendapat yang dianut oleh sebagian wanita bahwasanya wanita yang haidh tidak boleh mandi, menyisir rambutnya, dan memotong rambutnya maka ini tidak ada asalnya (dalilnya) di dalam syari’at, sebatas pengetahuan saya”

(http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4750.shtml)

Wallahu ta’aalaa a’lam.

Make a Free Website with Yola.