1.1 Definisi Arus
Arus
laut adalah proses pergerakan massa air laut yang menyebabkan
perpindahan horizontal dan vertikal massa air laut tersebut yang terjadi
secara terus (Gross,1972). Pergerakan massa air ini ditimbulkan oleh
beberapa gaya sehingga Herunadi (1996) dalam Kurniawan (2004)
mengemukakan bahwa sinyal arus merupakan resultan dari berbagai sinyal
yang mempunyai frekuensi terstentu yang dibagkitkan oleh beberapa gaya
yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Hutabarat dan Evans (1984) arus
merupakan gerakan air yang terjadi pada seluruh lautan di dunia.
Arus
laut mampu mengalir mengarungi ribuan kilometer dan sangat penting
untuk menentukan iklim dari sebuah benua, khususnya wilayah yang
berbatasan dengan laut. Contohnya arus Gulf Stream yang menyebabkan
daerah Barat Laut Eropa lebih hangat dibandingkan wilayah lain yang
memiliki lintang yang sama (Wikipedia, 2009).
1.2
Faktor Penyebab Terjadinya Arus
Pergerakan massa air ini ditimbulkan
oleh beberapa gaya sehingga Herunadi (1996) dalam Kurniawan (2004)
mengemukakan bahwa sinyal arus merupakan resultan dari berbagai sinyal
yang mempunyai frekuensi terstentu yang dibagkitkan oleh beberapa gaya
yang berbeda-beda. Ada dua jenis gaya utama yang penting dalam proses
gerak (motion) yakni gaya primer dan sekunder. Gaya primer merupakan
gaya yang menyebabkan gerak (motion) antara lain: gravitasi, wind
stress, tekanan atmosfer, dan seismic. Sedangkan gaya sekunder merupakan
gaya yang muncul akibat adanya gerak (motion) antara lain : gaya
Coriolis dan gesekan (friction) (Pond dan Pickard, 1983).
Menurut
Gross (1990), terjadinya arus di lautan disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu faktor internal dan faktor internal. Faktor internal
seperti perbedaan densitas air laut, gradien tekanan mendatar dan
gesekan lapisan air. Sedangkan faktor eksternal seperti gaya tarik
matahari dan bulan yang dipengaruhi oleh tahanan dasar laut dan gaya
coriolis, perbedaan tekanan udara, gaya gravitasi, gaya tektonik dan
angin.
1.3 Jenis-jenis Arus
Berdasarkan
gaya-gaya yang menimbulkannya, arus dibagi kedalam berbagai kelompok.
Gross (1990), membagi menjadi empat macam yaitu :
1. Arus Ekman,
merupakan arus yang disebabkan oleh gesekan angin
2. Arus Pasang
Surut (Pasut), merupakan arus yang disebabkan adanya gaya pembangkit
pasut
3. Arus termohalin, merupakan arus yang disebabkan oleh adanya
perbedaan densitas air laut
4. Arus Geostrofik, merupakan arus yang
disebabkan karena adanya gradien tekanan mendatar dan coriolis
Sedangkan
Brown et al. (1989) membagi arus atau gerak berdasarkan gaya
penyebabnya sebagai berikut :
1. Arus Thermohalin
2. Arus yang
digerakkan angin (wind driven current)
3. Arus Pasang Surut
4.
Arus Inersia
5. Arus Geostrofik
Pond dan Pickard (1983) melakukan
pembagian arus berdasarkan komponen gesekan (Friction) yaitu:
1.
Arus tanpa gesekan (current without friction)
2. Arus dengan gesekan
(current with friction)
Berdasarkan penguraian Pond dan Pickard
(1983) serta Gross (1990) di mana arus pasang surut merupakan arus yang
polanya dipengaruhi oleh pasang surut, maka secara umum arus juga dapat
diklisifikasikan menjadi dua, yaitu arus pasang surut dan arus nir
pasang surut.Dari semua klasifikasi yang telah dibuat oleh para ahli
tersebut, secara umum arus dapat diklasifikasikan menjadi:
Arus Ekman
Arus Ekman merupakan
arus yang disebabkan oleh gesekan angin (wind friction). Umumnya
permukaan air yang langsung bersentuhan dengan angin akan menimbulkan
arus di lapisan permukaan dengan kecepatan arus + 2% dari kecepatan
angin itu sendiri. Arah arus yang ditimbulkan tidak searah dengan
pergerakan angin karena adanya gaya coriolis yang ditimbulkan oleh
rotasi bumi. Arus akan dibelokkan ke kanan pada Belahan Bumi Utara
(BBU) dan dibelokkan ke kiri pada Belahan Bumi Selatan (BBS). Gaya
gesekan molekul dari massa air membuat lapisan dalam dibelokkan oleh
lapisan atasnya sampai pada kedalaman tertentu dimana gaya gesekan
molekul ini tidak berpengaruh lagi. Fenomena pembelokan arus ini
dikenal dengan Spiral Ekman (Gross, 1990).
Arus Ekman, sumber:earth.usc.edu
Tekanan
udara di atas permukaan bumi bervariasi tergantung dengan lamanya
penyinaran matahari sebagai faktor utama penentu besarnya nilai radiasi
matahari. Perbedaan tekanan inilah yang mengakibatkan pergerakan udara
atau angin. Jika angin ini berhembus di atas permukaan air hingga
terjadi pertukaran energi. Energi yang dipertukarkan inilah yang
mengakibatkan bergeraknya massa air yang ada di permukaan laut (Brown et
al., 1989).
Arus Geostrofik
Arus
geostrofik merupakan arus yang terjadi akibat adanya keseimbangan
geostrofik. Kondisi keseimbangan geostrofik ini terjadi jika gaya
gradien tekanan horizontal yang bekerja pada massa air yang bergerak dan
diseimbangkan oleh gaya coriolis (Brown et al., 1989). Arus geostrofik
merupakan hasil kesetimbangan antara gaya gravitasi dan gaya coriolis.
Efek gravitasi dikontrol oleh kemiringan permukaan air laut, sedangkan
densitas dikontrol oleh perbedaan suhu dan salinitas horizontal
(Wikipedia, 2009). Arus geostrofik ini tidak dipengaruhi oleh pergerakan
angin (gesekan antara air dan udara) sehingga Pond dan Pickard (1983)
memasukkannya kedalam golongan arus tanpa gesekan (current without
friction).
Arus Thermohalin
Merupakan
arus yang disebabkan perbedaan densitas air laut. Di bawah lapisan
pycnocline, air bergerak disepanjang dasar lautan sebagai arus yang
lembam (slugish current). Sirkulasi laut dalam ini benar-benar
terisolasi dari arus permukaan oleh lapisan pycnocline sehinga
pergerakannya hanya dipengaruhi oleh adanya perbedaan densitas air laut
atau dengan kata lain dikontrol oleh variabilitas suhu dan salinitas.
Sirkulasi laut dalam ini disebut sebagai arus thermohalin (Thermohalin
Current) (Gross,1990). Secara umum menurut Ingmanson dan Wallace (1989)
dalam Kurniawan (2004), arus thermohalin bergerak ke utara-selatan yang
dari samudera Atlantik menuju samudera Antartika.
Global Conveyor Belt,sumber:uwsp.edu
Arus Inersia
Sebagaimana yang
telah diketahui bahwa angin berhembus menyebabkan timbulnya arus (wind
driven current). Momentum yang ditimbulkan akibat dorongan angin ini
tidak akan berhenti begitiu saja sehingga ketika angin berhenti
berhembus gerakan air atau arus akan terus berlanjut sebagai konsekuensi
dari gaya momentum pada massa air (Pond dan Pickard, 1983). Gerakan air
atau arus, gaya gesekan kecil (diasumsikan nol) dan gaya yang masih
bekerja tinggal gaya coriolis , yang menyerupai kurva (curved motion)
yang disebut dengan arus inersia (inersia current) (Brown et al., 1989;
Pond dan Pickard 1983). Jika gaya coriolis hanya bekerja pada arah
horizontal maka gerakan air yang terjadi (arus inersia) di sekitar garis
lintang akan membentuk lingkaran (circular) (Brown et al., 1989). Arah
rotasi atau perputaran pada lingkaran inersia adalah searah putaran
jarum jam di belahan bumi bagian selatan (Pond dan Pickard, 1983).
Arus Pasang Surut (pasut)
Merupakan
arus yang disebabkan adanya gaya pembangkit pasut. Arus pasut
merupakan pergerakan air laut secara horizontal yang dihubungkan dengan
naik turunnya permukaan laut secara periodik. Pasang surut laut
merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek
sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi
bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik
terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya
tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari
dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat
daripada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut
ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang
surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut
ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang
orbital bulan dan matahari. Terdapat tiga tipe dasar pasang surut yang
didasarkan pada periode dan keteraturannya, yaitu pasang surut harian
(diurnal), tengah harian (semi diurnal) dan campuran (mixed tides).
Dalam sebulan, variasi harian dari rentang pasang surut berubah secara
sistematis terhadap siklus bulan. Rentang pasang surut juga bergantung
pada bentuk perairan dan konfigurasi lantai samudera (Wikipedia, 2007).
1.4 Arus Permukaan Indonesia
Arus
laut permukaan di dunia memiliki pola dan sebaran yang unik. Masing –
masing wilayah memiliki karakteristik arus yang berbeda.
Arus Permukaan, sumber:www.seas.harvard.edu
Perairan
Indonesia secara tetap diisi oleh massa air Samudra Pasifik. Hal ini
terjadi bukan hanya karena wilayah Indonesia lebih terbuka terhadap
Samudera Pasifik tetapi juga karena kondisi dinamika permukaan laut.
Ketinggian permukaan laut di bagian barat samudra pasifik lebih tinggi
dibandingkan dengan wilayah di selatan Jawa sepanjang tahun, sehingga
terbentuk gradien tekanan dari samudra pasifik ke samudera Hindia
(Wyrtki, 1961).
Menurut Godfrey (1996),gradien tekanan tersebut
terbentuk karena posisi Indonesia berada pada sisi Barat Samudera
Pasifik Trade Wind Belt, dimana tekanan angin secara terus menerus
menyebabkan penumpukkan massa air karena pergerakan arusnya menuju
daratan. Gradien tekanan tersebut menyebabkan terjadinya arus yang
melewati perairan Indonesia disebut Arlindo. Arlindo memiliki sistem
sirkulasi massa air yang kompleks dan berfluktuasi secara musiman dengan
arah serta kekuatannya yang bervariasi.
Arlindo sangat terkenal
karena menghubungkan antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia,
melalui Selat Makasar dan keluar lewat Selat Lombok (25% dari total
transport arus yang lewat Selat Makassar) dan Selat Ombai bersama-sama
Laut Timor (75% sisa total transport arus tersebut). Arlindo terjadi
sebagai akibat perbedaan tekanan rata-rata sebesar 16 cm antara Samudera
Pasifik dan Hindia. Arlindo memindahkan bahang oleh air bersalinitas
rendah dari tempat berkembangnya El Nino di Samudera Pasifik menuju
Samudera Hindia. Mengalir melalui bagian Selatan Indonesia dan
Australia, Arlindo merupakan penghubung utama atau titik temu pertukaran
massa air global.
Arlindo, sumber:dongenggeologi.files.wordpress.com
Sirkulasi
arus permukaan di Indonesia dipengaruhi oleh angin muson yang terjadi
kerana adanya perbedaan tekanan udara antara daratan asia dan daratan
australia, pada bulan Desember-Februari di Belahan Bumi Utara (BBU) akan
terjadi musin dingin sedangkan pada Belahan Bumi Selatan (BBS) akan
terjadi musim panas sehingga tekanan tinggi berada di Asia dan tekanan
rendah berada di Australia. Angin muson bergerak dengan arah-arah
tertentu sehingga perairan Indonesia dibagi menjadi empat musim yaitu
musim barat, musim timur, musim pancaroba satu dan musim pancaroba dua
(Wyrtki, 1961).
Syamsudin (2003) mengatakan air laut digerakan
oleh dua sistem angin, di dekat khatulistiwa angin pasat (trade wind)
menggerakkan permukaan air ke arah barat. Sementara itu, di daerah
lintang sedang (temperate), angin baratan (westerlies wind) menggerakkan
kembali permukaan air ke timur. Akibatnya di samudera-samudera akan
ditemukan sebuah gerakan permukaan air yang membundar.
2Metode Pengukuran Data Arus
2.1 Pengukuran Arus Insitu
Pengukuran arus secara insitu adalah pengukuran secara langsung dengan
dua metode pengukuran, yaitu pada titik tetap (Euler) dan metode dengan
benda hanyut atau drifter (Langlarian). Alat pengukur paling sederhana
adalah menggunakan Free-floating drogued buoy untuk mengukur kecepatan
dan sebuah kompas bidik untuk mencari arah. Free-floating drogued buoy
dilepas di perairan dengan diikat sebuah tali dengan jarak tertentu,
lalu diukur waktunya sampai tali tersebut menegang. Kecepatan arus bisa
diukur dengan membagi jarak dengan waktu. Sedangkan arah bisa dicari
dengan menggunakan kompas bidik.
Peralatan modern yang sering
digunakan saat ini dalam pengukuran arus adalah ADCP (Acaoustic Doppler
Current Profiler) dan Current Meter. ADCP menggunakan Azaz Doppler
mengenai perambatan bunyi, dimana partikel renik didalam air dapat
memantulkan bunyi. Current Meter merupakan pengembangan dari
Free-floating drogued buoy yang berfungsi untuk mengukur kecepatan dan
arah arus laut berdasarkan metode Eularian. Pengukuran arus laut dengan
current meter ini menggunakan metode eularian dimana metode ini
merupakan pengukuran arus dengan menggunakan metode gelombang
sinusoidal. Prinsip kerja alat ini adalah baling-baling dimana sewaktu
alat dimasukkan akan ada perputaran dari baling-baling tersebut sehingga
menimbulkan percepatan. Current meter mempunyai 2 bagian yaitu speed
(kecepatan) dan direction (arah).
2.2
Pengukuran Arus dengan Satelit Altimetri
Sistem altimetri
berkembang sejak tahun 1975, saat diluncurkannya satelit GEO-3. Pada
tahun 1990 satelit altimetri mulai diluncurkan seperti ERS-1
(1991-1996), Topex/Poseidon (sejak 1992) dan ERS-2 (sejak 1995).
Altimetri adalah teknik untuk mengukur ketinggian. Satelit altimetri
meghitung waktu yang digunakan oleh pulsa dari pemancar ke permukaan
laut dan kembali lagi sebagai echo menuju penerima. Dikombinasikan
dengan data lokasi satelit yang presisi kemudian menghasilkan SSH
seperti diilustrasikan pada gambar 1 (CNES, 1997 dalam Rudiastuti,
2008).
Tujuan peluncuran sensor altimetri adalah mengamati
sirkulasi lautan global, memantau volume dari lempengan es di kutub dan
mengamati perubahan muka laut rata-rata global (Abidin, 2001 dalam
Rudiastuti, 2008).
Sea Surface Height (SSH) adalah jarak antara
permukaan laut dengan ellipsoida referensi (jika kedalaman laut secara
akurat tidak diketahui). Nilai SSH secara matematis dituliskan sebagai
berikut:
SSH = S-R
Dimana :
S = ketinggian satelit dari
reference ellipsoid (satellite altitude)
R = jarak antara satelite
dengan laut (jarak altimetri)
Nilai SSH diperoleh dengan
memperhitungkan pengaruh ketinggian permukaan laut yang akan terjadi
tanpa gangguan (angin, ombak, gelombang, dan lainnya), dan juga
sirkulasi lautan atau dinamika topografi (CNES, 1997 dalam Rudiastuti,
2008).
2.3 Pengukuran Arus
dengan Membangun Model Hidrodinamika
Hingga sekitar akhir
1980-an, kegiatan hidrografi utamanya didominasi oleh survei dan
pemetaan laut untuk pembuatan peta navigasi laut (nautical chart) dan
survei untuk eksplorasi minyak dan gas bumi (Ingham, 1975). Peta
navigasi laut memuat informasi penting yang diperlukan untuk menjamin
keselamatan pelayaran, seperti: kedalaman perairan, rambu-rambu
navigasi, garis pantai, alur pelayaran, bahaya-bahaya pelayaran dan
sebagainya. Selain itu, kegiatan hidrografi juga didominasi oleh
penentuan posisi dan kedalaman di laut lepas yang mendukung eksplorasi
dan eksploitasi minyak dan gas bumi.
Fenomena dasar perairan yang
disebut dalam definisi di atas meliputi: batimetri atau‘topografi’
dasar laut, jenis material dasar laut dan morfologi dasar laut.
Sementara dinamika badan air yang disebut dalam definisi di atas
meliputi: pasut (dan muka air) dan arus. Data mengenai fenomena dasar
perairan dan dinamika badan air diperoleh melalui pengukuran yang
kegiatannya disebut sebagai survei hidrografi. Data yang diperoleh dari
survei hidrografi kemudian diolah dan disajikan sebagai informasi
geospasial atau informasi yang terkait dengan posisi di muka bumi.
Konfigurasi Satelit, sumber:ensigeopedia.com
Survei
adalah kegiatan terpenting dalam menghasilkan informasi hidrografi.
Pada gambar diatas, tampak kegiatan utama yang dilakukan dalam survei
hidrografi yang meliputi : Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem
referensi (7), Pengukuran kedalaman (pemeruman) (2), Pengukuran arus
(3), Pengukuran (pengambilan contoh dan analisis) sedimen (4),
Pengamatan pasut (5), Pengukuran detil situasi dan garis pantai (untuk
pemetaan pesisir) (6), Data yang diperoleh dari aktivitas-aktivitas
tersebut di atas dapat disajikan sebagai
informasi dalam bentuk peta
dan non-peta serta disusun dalam bentuk basis data kelautan.
Pengukuran
arus dengan membangun model hidrodinamika adalah dengan mengkonversi
fenomena oseanografi kedalam persamaan numerik yang bersifat diskrit.
Dengan menggunakan persamaan-persamaan ini dapat dibuat pemodelan dari
yang sederhana hingga yang rumit.
Sehubungan dengan itu maka
seluruh informasi yang disajikan harus memiliki data posisi dalam ruang
yang mengacu pada suatu sistem referensi tertentu. Oleh karenanya,
posisi suatu objek di atas, di dalam dan di dasar perairan merupakan
titik perhatian utama dalam hidrografi. Informasi hidrografi utamanya
ditujukan untuk:
(1) Navigasi dan keselamatan pelayaran,
(2)
Penetapan batas wilayah atau daerah di laut; dan
(3) Studi dinamika
pesisir dan pengelolaan sumberdaya laut.
sumber:
Brown, J,
A. Colling, D. Park, J. Philips, D. Rothery, dan J. Wright. 1989. Ocean
Circulation. The Open University. Published In Assosiation with
Pergamon Press.
Global Change Issues: Highlights of Recent and
Ongoing Research dinduh dari http://www.gcrio.org/ [6 November 2009]
Godfrey,
J. S. 1996. The Effect of The Indonesian Troughflow on Ocean
Circulation And Heat Exchange With The Atmosphere : A Review. J. of
Geophysic. Res. 101 (C5) : 12209-12238
Gross, M. 1990.
Oceanography sixth edition. New Jersey : Prentice-Hall.Inc.
Hutabarat,
S dan SM. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas
Indonesia-Press. Jakarta
Kurniawan, Mujib.2004. Studi Fluktuasi
Arus Permukaan Frekuensi Rendah (Low Frequency) Di Perairan Utara Papua
Pada Bulan Oktober 2001-Agustus 2002. Skripsi. Ilmu dan Teknologi
Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Nat,D.
Eka,D. 2006. “Survei Hidrografi”.Refika Aditama Shykind,E. Jakarta.
Pond,
S dan G.L Pickard. 1983. Introductory Dynamical Oceanography, 2th
edition. Pergamon Press
.
Rudiastuti, Aninda Wisaksanti. 2008.
Studi Sebaran Klorofil-A Dan Suhu Permukaan Laut (SPL) Serta Hubunganya
Dengan Distribusi Kapal Penangkap Ikan Melalui Teknologi Vessel
Monitoring System (VMS). Skripsi. Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Wyrkti, K.
1961. Physical Oceanography of South East Asian Water. Naga Report. Vol
2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La
Jolla. California. 195 p.
Klasifikasi Pantai
0Johnson dalam Lobeck (1939: 345) melakukan klasifikasi pantai yang
didasarkan pada perubahan relatif tinggi permukaan air laut, menjadi 4
jenis pantai, yaitu:
a. Pantai
submergen (Shoreline of submergence), merupakan pantai yang
ditandai oleh adanya ciri-ciri penurunan daratan/dasar laut, yang
termasuk ke dalam klasifikasi ini adalah:
• Pantai Ria, pantai ini
terjadi kalau pantai tersebut bergunung dan berlembah dengan arah yang
melintang kurang lebih tegak lurus terhadap pantai. Pada tiap teluk
bermuara sebua sungai.
• Pantai Fyord, pantai ini terjadi karena
adanya lembah-lembah hasil pengikisan oleg gletser mengalami penurunan.
Fyord ini banyak terdapat pada daerah-daerah yang dulunya mengalami
pengerjaan glasial sampai pantai.
b. Pantai emergen (Shoreline of emergence),
merupakan pantai yang ditandai oleh adanya ciri-ciri pengangkatan
relatif dasar laut. Pada pantai jenis ini dapat dibagi menjadi beberapa
bagian, yaitu:
• Pantai emergen yang berupa pegunungan, ciri utama
dari pantai ini adalah adanya beach atau cliff yang terangkat hingga
letaknya jauh lebih tinggi dari pada yang dapat dijangkau oleh
gelombang. Juga bekas pantai lama yang telah terangkat yang ditandai
oleh adanya goa-goa, relung, cliff yang saat ini tidak lagi tercapai
oleh geolombang laut.
• Pantai emergen yang berupa dataran rendah,
pantai ini terjadi pada continental shelf dangkalan yang terangkat
sampai ke atas permukaan laut. Pantai ini biasanya tersusun atas batuan
sedimen marine. Pantai jenis ini di daerah pedalaman (pesisir/coast)
merupakan dataran yang relatif luas dan daratan yang patah (fall line)
terkadang dijumpai banyak air terjun (seperti di Pantai Tenggara USA,
dataran pesisir melandai serta material batuannya berupa sedimen marine.
Contoh lainnya adalah pantai Teluk Mexico dan pantai selatan Rio de La
Plata di Argentina.
c. Pantai
netral (Neutral Shoreline), pantai yang tidak memperlihatkan
kedua ciri di atas (tidak ada tanda-tanda bekas pengangkatan dan
penurunan daratan/dasar laut). Pantai jenis ini meluas ke arah laut.
Jenis yang termasuk ke dalam jenis ini adalah:
• Pantai delta (delta
shorelines), pantai yang dicirikan oleh adanya pengendapan pada muara
sungai.
• Pantai vulkanis (volcano shorelines), terjadi karena
material gunungapi yang ke luar dari perut bumi mengalir sampai ke laut.
•
Pantai dataran aluvial (delta shorelines), jenis ini sangat erat
kaitannya dengan pantai delta.
• Pantai karang (coral reef
shorelines), merupakan pantai yang diperkuat oleh adanya
pembentukan
gosong-gosong karang. Material sebagian besar berupa pengendapan karang.
•
Pantai sesar (fault shorelines), di mana air laut mencapai muka sesar.
Pantai golongan ini pada umumnya tidak meliputi daerah yang tidak
terbatas (tidak luas).
d. Pantai
majemuk (Compound Shoreline). Pantai ini terjadi sebagai akibat
dari terjadinya proses yang berulang kali mengalami perubahan relatif
muka air laut (naik dan turun). Bentuk yang dihasilkan juga
bermacam-macam pula, ada yang ditandai oleh adanya pengangkatan,
ditandai telah terjadinya proses penurunan. Oleh karena itu, pantai
demikian disebut dengan pantai majemuk. Contoh pantai jenis ini banyak
dijumpai di pantai selatan Pulau Jawa.
Sumber:
Bird, E.C.F.
1970. Coast and introduction to systematic geomorphology. Vol. 4.
Cambridge, London: 248 pp.
Lobeck, AK. (1939), Geomorphology, An
Introduction to the study of Lanscape, New York and
London: Mc
Graw-Hill Book Company. Inc.
Sunarto (1991/1992), Geomorfologi Pantai
”Makalah” , Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik UGM.
Transpor Sedimen
0Bambang Triatmodjo (1999) menjelaskan bahwa definisi dari transpor
sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang disebabkan
oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya. Transpor sedimen pantai
inilah yang akan menentukan terjadinya sedimentasi atau erosi di daerah
pantai. Menurut Bambang Triatmodjo (1999), gerak air di dekat dasar akan
menimbulkan tegangan geser pada sedimen dasar. Bila nilai tegangan
geser dasar lebih besar dari pada tegangan kritis erosinya, maka
partikel sedimen akan bergerak. Dengan demikian dapat kita simpulkan
bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi pergerakan sedimen pantai
antara lain: diameter sedimen, rapat massa sedimen, porositas, dan
kecepatan arus atau gaya yang ditimbulkan oleh aliran air.
Gelombang yang menjalar menuju pantai membawa massa
air dan momentum searah penjalarannya. Transpor massa dan momentum
tersebut akan menimbulkan arus di daerah dekat pantai. Gelombang pecah
menimbulkan arus dan turbulensi yang sangat besar yang dapat
menggerakkan sedimen dasar. Di daerah surf zone, kecepatan partikel air
hanya bergerak searah penjalaran gelombangnya. Di swash zone, gelombang
yang memecah pantai menyebabkan massa air bergerak ke atas dan kemudian
turun kembali pada permukaan pantai. Gerak massa air tersebut disertai
dengan terangkutnya sedimen.
Sedimen
Transport
Pada gambar di atas terlihat bahwa arus dan partikel
air di dasar bergerak searah penjalaran gelombang menuju pantai. Di
daerah mulai pecahnya gelombang (point of wave breaking) yang biasa
disebut dengan surf zone, terlihat adanya pertemuan pergerakan sedimen
yang menuju pantai dan yang bergerak kembali ke tengah laut. Selain itu,
pergerakan sedimen di luar daerah surf zone akan mulai melemah.
Akibatnya, di titik ini akan terbentuk bukit penghalang (bar) yang
memanjang sejajar pantai (Fredsoe & Deigaard,1992).
Pergantian
musim juga mempengaruhi proses pantai. Turbulensi dari gelombang pecah
mengubah sedimen dasar (bed load) menjadi suspensi (suspended load).
Kesenjangan/ketidaksamaan hantaman gelombang (antara dua musim)
mengakibatkan penggerusan yang kemudian membentuk pantai-pantai curam
yang menyisakan sedimen-sedimen bergradasi lebih kasar
Sumber:
Triatmojo,
B. 1999. Teknik Pantai Edisi Kedua. Beta Offset. Yogyakarta
faiqun.edublogs.org
http://www.marum.de/Binaries/Binary19220/c4.jpg
Perubahan Garis Pantai
0Perubahan garis pantai umumnya disebabkan oleh faktor alam dan faktor
manusia. Salah satu faktor alam yang utama adalah arus sejajar pantai
(longshore current) yang ditimbulkan oleh aksi gelombang saat setelah
pecah.
Distribusi arus sejajar pantai digunakan untuk menghitung
perkiraan besar angkutan sedimen dengan metoda CERC (Coastal Engineering
Research Center), dan juga digunakan Model Satu Garis (On Line Model).
Parameter gelombang laut yang digunakan dalam
perhitungan ini didapatkan dari hasil perhitungan parameter angin
permukaan dengan menggunakan metoda SMB (Svedrup Munk dan Bretchneider)
untuk perairan dalam.
Zona
gerakan material
Berdasarkan Hallermeier (1978,1981) dalam
(CUR, 1987), pantai dibagi menjadi 3
(tiga) zona gerakan material
sebagai berikut (lihat Gambar 3):
1) Littoral zone adalah
perairan antara garis pantai sampai kedalaman d1. Pada daerah ini
terjadi gerakan material sangat intensif dan signifikan, baik longshore
transport
ataupun crossshore transport .
2) Shoal zone adalah
perairan dari kedalaman d1 sampai kedalaman di. Pada daerah ini
terjadi
gerakan material cross shore transport yang cukup signifikan. Gelombang
sudah
tidak begitu berpengaruh pada gerakan material dasar, sehingga daerah
ini
terjadi proses pendangkalan.
3) Offshore zone adalah
perairan dari kedalaman di ke arah laut dalam. Pada daerah ini gerakan
gelombang sudah tidak berpengaruh pada material dasar.
Garis Pantai Havana, Cuba
Sumber:
CUR,
1987, Manual on Artificial Beach Nourishment, Centre for Civil
Engineering Research, Codes and Specification Rijkswaterstaat, Delft
Hydraulics.
http://www.theodora.com/wfb/photos/cuba/coastal_boulevard_havana_cuba_photo_gov.jpg
Gelombang di Laut
0Salah satu parameter yang penting dalam suatu penelitian dinamika
pantai adalah gelombang laut. Pada umumnya gelombang laut tersebut
adalah gelombang laut yang disebabkan oleh tiupan angin baik langsung
maupun tidak langsung. Pada daerah tiupan angin (dikenal dengan istilah
'fetch'), terjadi peristiwa transfer energi angin ke energi gelombang
dalam spektrum frekuensi yang luas. Dengan kata lain, didaerah angin
tersebut terbentuk campuran gelombang dengan bermacam-macam frekuensi.
Distribusi frekuensi dan besarnya energi gelombang ditentukan oleh tiga
faktor, yaitu: luasnya daerah tiupan angin, lamanya angin bertiup, dan
besarnya tiupan angin. Gelombang yang terbentuk tersebut akan menjalar
keluar dari daerah tiupan angin hingga mencapai daerah dangkal atau
pantai, dan melepaskan energinya.
Menurut
Arief et.al (1993), gelombang laut yang terbentuk akibat tiupan angin
setempat umumnya mempunyai ketinggian yang kecil (kurang dari 0.5 meter)
dan mempunyai periode waktu kurang dari 4 detik. Hal ini disebabkan
oleh terbatasnya daerah tiupan angin. Sedangkan gelombang yang terbentuk
di daerah lepas pantai atau di tengah laut seringkali mempunyai energi
yang besar akibat luasnya daerah tiupan angin dan lebih besarnya tiupan
angin di laut dibandingkan dengan tiupan angin di pantai. Selama
penjalarannya tersebut, gelombang tersebut mengalami proses dispersi
akibat perbedaan kecepatan rambat gelombang yang berbeda periodenya.
Makin jauh jarak perambatan gelombang, makin homogen periode gelombang
tersebut. Gelombang yang homogen umumnya dikenal dengan nama alun
('swell'). Gelombang 'kiriman' ini seringkali mempunyai tinggi diatas
0.5 meter dengan periode di atas 4 detik. Di pantai dan daerah pecahnya
gelombang merupakan daerah transfer energi gelombang ke bentuk energi
lainnya seperti arus, turbulensi, pemindahan sedimen, gelombang sekunder
dengan periode lebih pendek maaupuan lebih panjang, bunyi, dan lain
sebaginya. Proses transfer energi inilah yang berperanan penting dalam
proses dinamika pantai karena menyebabkan perpindahan sedimen.
Gelombang
Arah datangnya energi gelombang
ditentukan oleh arah perambatannya. Sedangkan besarnya energi yang
dibawa oleh gelombang ditentukan oleh tinggi, periode, dan tipe
gelombang. Secara umum dapat dikatakan bahwa energi gelombang sebanding
dengan kuadrat amplitudonya, walaupun hal ini benar untuk kasus
gelombang sinusoidal sederhana. Selanjutnya tinggi, periode, dan arah
datangnya gelombang, oleh karenanya, diidentikkan dengan karaktenstik
datangnya gelombang. Oleh karena itu pengukuran karakteristik gelombang
merupakan faktor yang penting dalam studi dinamika pantai dan usaha
penanggulangan proses erosi pantai (Arief et.al, 1993).
Menurut
Dahuri et.al. (1996), jika sudut datang gelombang kecil atau sama dengan
nol, maka akan terbentuk arus sibak pantai dan terbentuknya arus susur
pantai. Keadaan ini merupakan indikator transportasi sedimen sepanjang
pantai. Ombak merupakan salah satu penyebab yang berperan besar dalam
pembentukan pantai. Ombak yang terjadi di laut dalam pada umumnya tidak
berpengaruh terhadap dasar laut dan sedimen yang terdapat di dalamnya.
Sebaliknya ombak yang terdapat di dekat pantai, terutama di daerah
pecahan ombak mempunyai energi besar dan sangat berperan dalam
pembentukan morfologi pantai, seperti menyeret sedimen (umumnya pasir
dan kerikil) yang ada di dasar laut untuk ditumpuk dalam bentuk gosong
pasir. Di samping mengangkut sedimen dasar, ombak berperan sangat
dominan dalam menghancurkan daratan (erosi laut). Daya penghancur ombak
terhadap daratan/batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
keterjalan garis pantai, kekerasan batuan, rekahan pada batuan,
kedalaman laut di depan pantai, bentuk pantai, terdapat atau tidaknya
penghalang di muka pantai dan sebagainya.
Keseimbangan antara
sedimen yang dibawa sungai dengan kecepatan pengangkutan sedimen di
muara sungai akan menentukan berkembangnya dataran pantai. Apabila
jumlah sedimen yang dibawa ke laut dapat segera diangkut oleh ombak dan
arus laut, maka pantai akan dalam keadaan stabil. Sebaliknya apabila
jumlah sedimen melebihi kemampuan ombak dan arus laut dalam
pengangkutannya, maka dataran pantai akan bertambah (Dahuri et.al.,
1996).
sumber:
Arief, Dharma , Edy Kusmanto dan Sudarto. 1993.
Metoda Pengamatan Dan Analisa Gelombang Laut. Balai Penelitian dan
Pengembangan Oseanografi, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi-LIPI, Jakarta
Dahuri, R. J. Rais, S.P. Ginting dan M.J.
Stepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Jakarta: PT Paradya Paramita.
http://www.deskpicture.com/DPs/Nature/waveNo7_2.jpg
Jumat, 25 Desember 2009
Koagulasi
0Koagulasi
Koagulasi adalah
proses untuk menurunkan daya listrik pada permukaan partikel koloid
oleh elektrolit dalam larutan. Koagulasi menghilangkan partikel warna,
kekeruhan, bakteri, ion terlarut dan terutama koloid dalam larutan.
Tujuan koagulasi adalah untuk merubah koloid-koloid sehingga mereka bisa
menempel satu sama lain atau menggumpal. Selama koagulasi ion positif
ditambahkan ke dalam air untuk menurunkan muatan permukaan koloid sampai
pada titik dimana koloid tidak saling menolak satu dengan yang lain.
Koagulan adalah suatu senyawa kimia yang ditambahkan ke air untuk
membentuk koagulasi.
Ada tiga persyaratan kunci dari koagulan
yang harus dipenuhi :
1. Kation trivalent. Seperti yang telah
dijelaskan terdahulu, koloid-koloid adalah bermuatan negatif, jadi
diperlukan adanya kation untuk menetralkan muatannya. Kation trivalent
merupakan kation yang paling efisien.
2. Tidak beracun. Kation yang
digunakan harus tidak beracun sehingga memberikan hasil air olahan yang
aman (misalkan untuk air minum).
3. Tidak larut dalam kisaran pH
netral. Jadi koagulan yang ditambahkan harus mengendap dari larutannya
sehingga ion-ionnya tidak tertinggal di dalam air.
Pengendapan semacam ini akan sangat membantu proses
penghilangan koloid.
Proses koagulasi menggunakan garam-garam
tersebut sangat dipengaruhi pH air limbah, contohnya alum (garam
aluminium) akan efektif sebagai koagulan pada rentang pH 5-7. Pada pH
lebih kecil dari 4 atau lebih besar dari 9, kinerja alum sebagai
koagulan tidak efektif karena diperlukan dosis yang sangat tinggi (200
miligram per liter) untuk mengendapkan ion aluminium sebagai
hidroksidanya. Hasil yang sama juga terjadi pada garam-garam besi.
Dewasa ini orang lebih suka menggunakan polimer alum yang dikenal
sebagai poli aluminium klorida (PAC) sebagai koagulan karena
efektivitasnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan garam aluminium
maupun garam besi. Penelitian terbaru yang dilakukan Gao dan Yue
menunjukkan bahwa poli aluminium klorida sulfat (PACS) bahkan lebih
efektif dibandingkan dengan PAC karena PACS mempunyai struktur polimer
yang lebih besar, yang lebih dapat meningkatkan agregasi partikel dalam
air.
Apapun jenis koagulan yang digunakan, uji secara laboratorium
melalui jartest harus dilakukan untuk mengetahui efektivitas koagulan
tersebut dalam mengendapkan partikel-partikel koloid dalam air limbah
yang diolah sehingga terjadi pemisahan yang sempurna antara lumpur dan
air. Penerapan teknologi pengolahan limbah yang didasarkan pada prinsip
optimalisasi antara teknologi, kualitas, dan biaya. akan memberikan
hasil yang optimal sehingga biaya investasi dapat ditekan dan
keselamatan lingkungan dapat dijaga (Hanum, 2002).
Bahan Bantu koagulan (Flokulan)
Ada
4 tipe utama bahan bantu koagulan yaitu alat pengatur pH, silika yang
diaktifkan (activated silica), tanah liat (clay) dan polymer. Polimer
adalah senyawa-senyawa karbon berantai panjang, berat molekulnya besar
dan memiliki banyak bagian-bagian yang aktif. Bagian-bagian yang aktif
ini akan menempel pada flok, menggabungkannya satu sama lain, lalu
membentuk flok-flok yang lebih besar dan lebih kuat sehingga akan
mengendap lebih baik. Proses ini disebut “jembatan antar partikel flok”.
Macam dan dosis polimer yang akan dipakai harus ditentukan terlebih
dahulu untuk setiap macam air yang akan diolah. Kebutuhannya dapat saja
berubah setiap saat meskipun air limbah yang akan diolah berasal dari
sumber yang sama (Suryadiputra, 1994).
Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air dari
suatu perairan. Kekeruhan disebabkan oleh bahan yang tersuspensi dan
koloid yang terdapat dalam air, seperti partikel-partikel lumpur,
plankton, bahan organik serta mikroorganisme. Perairan keruh tidak
disukai organisme sebab mengganggu proses pernafasan sehingga menghambat
kelangsungan hidup organisme. Tingkat kekeruhan berbanding terbalik
dengan tingkat kecerahan. Nilai kekeruhan yang semakin meningkat
menyebabkan menurunnya nilai kecerahan pada perairan tersebut.
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi kekeruhan di perairan adalah adanya
kandungan bahan organik dan anorganik baik yang tersuspensi maupun
terlarut, seperti lumpur dan pasir halus. Selain itu, kekeruhan juga
dapat disebabkan oleh bahan organik dan anorganik lain berupa plankton
dan mikroorganisme lainnya (APHA, 1976 dalam Effendi, 2003).
Kekeruhan
dinyatakan dalam satuan unit turbiditas yang setara dengan 1 mg/liter
SiO2. Peningkatan nilai turbiditas pada perairan dangkal dan jernih
sebesar 25 NTU dapat mengurangi 13% - 50% produktivitas primer.
Peningkatan turbiditas sebesar 5 NTU di danau dan sungai dapat
mengurangi produktivitas primer berturut-turut sebesar 75% dan 3%-13%.
Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi
nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Namun,
tingginya nilai padatan tersuspensi tidak selalu diikuti dengan
tingginya kekeruhan (Effendi, 2003).
TDS (Total Suspended Solid)
Padatan terlarut total
(TDS) adalah bahan-bahan terlarut dengan diameter < 10 -6 mm dan
koloid dengan diameter 10 -6- 10 -3 mm yang berupa senyawa-senyawa kimia
dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring
berdiameter 0,45µm (Rao,1992 dalam Effendi, 2003). TDS biasanya
disebabkan oleh bahan-bahan anorganik yang biasa ditemukan di perairan.
Nilai TDS perairan dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari
tanah dan pengaruh antropogenik berupa limbah domestik dan industri.
Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut di perairan alami tidak bersifat
toksik, akan tetapi jika berlebihan terutama TSS dapat meningkatkan
nilai kekeruhan yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya
matahari di kolam air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses
fotosintesis di perairan (Effendi, 2003). Nilai TDS biasanya lebih kecil
dari pada nilai DHL. Pada penentuan nilai TDS, bahan-bahan yang mudah
menguap tidak terukur karena melibatkan proses pemanasan (Effendi,
2003).
DHL (Daya Hantar Listrik)
Konduktivitas
atau Daya Hantar Listrik adalah gambaran numerik dari kemampuan air
untuk meneruskan aliran listrik. Oleh karena itu, semakin banyak
garam-garam terlarut yang dapat terionisasi semakin tinggi pula nilai
DHL. Reaktivitas, bilangan valensi, dan konsentrasi ion-ion terlarut
sangat berpengaruh terhadap nilai DHL. Asam, basa, dan garam merupakan
pengantar listrik yang baik, sedangkan bahan organik, misalnya sukrosa
dan benzena yang tidak dapat mengalami dissosiasi merupakan penghantar
listrik yang jelek (APHA dalam Effendi, 2003).
Konduktivitas
dinyatakan dengan satuan µmhos/cm. atau µSiemens/cm. air suling
(aquades) memiliki nilai DHL 1 µmhos/cm, sedangkan perairan alami
memiliki nilai DHL sebesar 20-1500 µmhos/cm. Nilai DHL berhubungan erat
dengan nilai padatan terlarut total (TDS). Nilai TDS dapat diperkirakan
dengan mengalikan nilai DHL dengan bilangan 0.55-0.75. Nilai TDS
biasanya lebih kecil daripada nilai DHL. Pada penentuan nilai
TDS,bahan-bahan yang mudah menguap tidak terukur karena melibatkan
proses pemanasan (Effendi, 2003).
Nilai baku mutu DHL menurut
PPRI No.20 tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran air adalah 2250
µmhos/cm golongan D (air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian
serta usaha perkotaan, industri, dan pembangkit listrik), sedangkan
kadar alamiahnya adalah 20-1500 µmhos/cm (perairan alami) (Boyd, 1988
dalam Effendi, 2003).
sumber:
Effendi, Hefni. 2003. Telaah
Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
Hanum, F. 2002. Proses
Pengolahan Air Sungai untuk Kepeluan Air Minum. Fakultas Teknik. Program
Studi Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara. [diakses dari www.
mining.lib.itb.ac.id 5 Desember 2007].
Suryadiputra, INN. 1994.
Pengolahan Air Limbah dengan Metode Biologi (Strengthening Program :
Rancang Bangun IPAL). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Jartest
0Latar Belakang
Air
merupakan kebutuhan yang sangat essensial bagi makhluk hidup. Air
dibutuhkan tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari,
tetapi juga untuk kepentingan pertanian, perikanan, industri,
lingkungan, transportasi, dan lainnya. Namun saat ini air banyak
dicemari oleh limbah-limbah, seperti limbah domestik ataupun limbah non
domestik. Air permukaan (misal sungai) sebelum dimanfaatkan untuk
tujuan-tujuan tertentu harus diolah terlebih dahulu. Pengolahan ini
dapat berupa proses kekeruhan, warna, dan kandungan bakteri lainnya.
Teknologi pengolahan air limbah adalah kunci dalam memelihara
kelestarian lingkungan. Apapun macam teknologi pengolahan air limbah
domestik maupun industri yang dibangun harus dapat dioperasikan dan
dipelihara oleh masyarakat setempat.
Salah
satu teknologi pengolahan air limbah yang digunakan adalah “Jartest”.
Jartest digunakan untuk mengetahui kekeruhan suatu sampel air. Jartest
ini juga dapat digunakan untuk mengetahui kinerja kogulasi dan flokulasi
secara simulasi di laboratorium dengan syarat air yang akan disimulasi
dengan jartest ini adalah air yang benar-benar akan dilakukan pengolahan
di lapangan.
2.1 Jartest
Jartest
adalah salah satu simulasi dari beberapa metoda yang paling umum
dipakai untuk menilai efisiensi suatu proses koagulasi dan flokulasi.
Jartest menyimulasikan proses koagulasi dan flokulasi dalam proses
pengolahan limbah sehingga membantu operator pengolahan limbah untuk
menentukan jumlah bahan kimia yang tepat (Suryadiputra, 1994). Jartest
berfungsi untuk menentukan dosis optimal dari koagulan (biasanya
tawas/alum) yang digunakan pada proses pengolahan air bersih. Kekeruhan
air dapat dihilangkan melalui pembubuhan koagulan. Umumnya koagulan
tersebut berupa Al2(SO4)3, namun dapat pula berupa garam FeCl3 atau
sesuatu poly-elektrolit organis. Selain pembubuhan koagulan diperlukan
pengadukan sampai terbentuk flok. Flok-flok ini mengumpulkan
partikel-partikel kecil dan koloid yang tumbuh dan akhirnya bersama-sama
mengendap.
2.2 Derajat Keasaman
(pH)
Menurut Mackereth et al. (1989) dalam Effendie (2003),
pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH lebih
dari 5, alkalinitas dapat mencapai 0. Semakin tinggi nilai pH, semakin
tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida
bebas. Derajat keasaman mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia.
Senyawa ammonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan
yang memiliki pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous).
Namun, pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan ammonia
yang tak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Amonia tak
terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik
dibandingkan dengan amonium (Tebbut, 1992 dalam Effendie, 2003).
Sebagian
besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai
pH sekitar 7 – 8.5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi
perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah.
Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Novotny dan
Olen, 1994 dalam Effendie, 2003).
Pembatasan pH dilakukan karena
akan mempengaruhi rasa, korosifitas air dan efisiensi klorinasi.
Beberapa senyawa asam dan basa lebih toksik dalam bentuk molekuler,
dimana disosiasi senyawa-senyawa tersebut dipengaruhi oleh pH. Tingkat
kelarutan garam-garam pembentuk kerak dipengaruhi oleh pH. Oleh karena
itu, penyesuaian pH penting dilakukan dengan cara menambahkan kapur atau
asam sambil menjaga agar air itu sendiri tidak menjadi bersifat korosif
(Hanum, 2002).
2.3 Alum
Alum
dapat dibeli dalam bentuk kering maupun cairan alum (Al2(SO4)3.14 H2O).
Alum cair yang diperdagangkan mengandung 48.8 % alum (8,3% Al2O3) dan
51,2% air. Jika dijual dalam bentuk larutan pekat, akan timbul masalah
kristalisasi alum selama perjalanan dan penyimpanan. Suatu larutan alum
48,8% memiliki titik kristalisasi pada suhu -15,6 oC. Sedangkan larutan
alum 50,7% akan mengkristal pada suhu ± 18,3 oC. Jika alum ditambahkan
ke dalam air yang telah memiliki alkalinitas, maka akan terjadi reaksi.
Jadi setiap 1 mol alum yang ditambahkan akan menggunakan 6 mol
alkalinitas dan menghasilkan 6 mol CO2. Jika di dalam air tidak terdapat
alkalinitas maka pH air akan turun secara drastis karena terbentuknya
asam sulfat. Jika reaksi ini muncul, maka perlu ditambahkan kapur atau
sodium karbonat untuk menetralkannya. Dua faktor paling penting dalam
penambahan koagulan adalah dosis koagulan dan pH air. Makin tinggi dosis
garam yang diberikan, makin rendah atau kecil muatannya, dan
selanjutnya akan menurunkan daya tolaknya terhadap koloid-koloid
disekitarnya. Jika ion yang ditambahkan bervalensi semakin besar maka
muatan koloid akan menurun semakin cepat (Suryadiputra, 1994).
Tawas
merupakan bahan koagulan yang paling banyak digunakan karena bahan ini
paling ekonomis, mudah diperoleh di pasaran serta mudah penyimpanannya.
Jumlah pemakaian tawas tergantung kepada turbiditas (kekeruhan) air
baku. Semakin tinggi turbiditas air baku maka semakin besar jumlah tawas
yang dibutuhkan. Pemakaian tawas juga tidak terlepas dari sifat-sifat
kimia yang dikandung oleh air baku (Hanum, 2002).
sumber:
Effendi,
Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
Hanum, F.
2002. Proses Pengolahan Air Sungai untuk Kepeluan Air Minum. Fakultas
Teknik. Program Studi Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara. [diakses
dari www. mining.lib.itb.ac.id 5 Desember 2007].
Suryadiputra, INN.
1994. Pengolahan Air Limbah dengan Metode Biologi (Strengthening Program
: Rancang Bangun IPAL). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Eutrofikasi di Perairan
01.1. Latar Belakang
Eutrofikasi
didefinisikan sebagai pengayaan (enrichment) air dengan nutrien atau
unsur hara berupa bahan anorganik yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan
mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas primer perairan.
Nutrient yang dimaksud adalah nitrogen dan fosfor. Eutrofikasi
diklasifikasikan menjadi dua yaitu artificial atau cultural
eutrophication dan natural eutrophication. Eutrofikasi diklasifikasikan
sebagai artificial (cultural eutrophication) apabila peningkatan unsur
hara di periaran disebabkan oleh aktivitas manusia dan diklasifikasikan
sebagai natural eutrophication jika peningkatan unsur hara di perairan
disebabkan oleh aktivitas alam (Effendi, 2003).
Salah satu
penyebab terjadinya eutrofikasi di suatu perairan adalah buangan limbah
domestik. Limbah domestik merupakan buangan berupa bahan-bahan sisa dan
tidak berguna dari berbagai aktivitas rumah tangga. Limbah ini pada
gilirannya akan dapat mempengaruhi kehidupan atau ekosistem penerima
limbah tersebut. Sebagian besar masyarakat kita masih beranggapan bahwa
lingkungan perairan merupakan tempat pembuangan yang murah dan mudah.
Akibatnya terjadi degradasi lingkungan di suatu perairan.
Untuk menghindari terjadinya gangguan terhadap
lingkungan penerima limbah tersebut, idealnya limbah tersebut sebelum
dibuang ke alam bebas perlu dilakukan suatu tingkat pengolahan. Salah
satu aspek yang menjadi sasaran pengolahan terhadap limbah domestik
adalah mengurangi konsentrasi senyawa-senyawa mineral yang terkandung
didalamnya. Tanpa adanya usaha ini, kelebihan kadar senyawa mineral di
perairan akan menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi (penyuburan)
pada perairan penerima limbah, yang pada gilirannya dapat memacu
pertumbuhan organisme tertentu secara tidak terkendali dilingkungan
perairan.
2.1. Pengertian
Eutrofikasi
Eutrofikasi didefinisikan sebagai pengayaan
(enrichment) air dengan nutrien atau unsur hara berupa bahan anorganik
yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan mengakibatkan terjadinya peningkatan
produktivitas primer perairan. Nutrient yang dimaksud adalah nitrogen
dan fosfor. Eutrofikasi diklasifikasikan menjadi dua yaitu artificial
atau cultural eutrophication dan natural eutrophication. Eutrofikasi
diklasifikasikan sebagai artificial (cultural eutrophication) apabila
peningkatan unsure hara di periaran disebabkan oleh aktivitas manusia
dan diklasifikasikan sebagai natural eutrophication jika peningkatan
unsure hara di perairan disebabkan oleh aktivitas alam (Effendi, 2003).
Beberapa
elemen (misalnya silikon, mangan, dan vitamin) merupakan faktor
pembatas bagi pertumbuhan algae. Akan tetapi, elemen-elemen tersebut
tidak dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi meskipun memasuki badan
air dalam jumlah yang cukup banyak. Hanya elemen tertentu, misalnya
fosfor dan nitrogen, yang dapat menyebabkan perairan mengalami
eutrofikasi (Mason 1993 in Effendi 2003).
Eutrofikasi merupakan
suatu problem yang mulai muncul pada dekade awal abad ke-20, ketika
banyak alga yang tumbuh di danau dan ekosistem lainnya. Meningkatnya
pertumbuhan algae dipengaruhi langsung oleh tingkat kesuburan perairan
oleh adanya aktivitas manusia biasanya berasal dari limbah organik yang
masuk ke perairan.
Algae memiliki peran dalam proses fotosintesis
untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air sebagai dasar
mata rantai makanan di perairan. Namun apabila keberadaan Algae di
perairan dalam jumlah berlebih, maka dapat menurunkan kualitas perairan.
Tingginya populasi fitoplankton (algae) beracun di perairan dapat
menyebabkan berbagai akibat negatif yang merugikan perairan, seperti
berkurangnya oksigen perairan dan menyebabkan kematian biota perairan
lainnya.
2.2. Gejala
Terjadinya Eutrofikasi
Problem eutrofikasi baru disadari pada
dekade awal abad ke-20 saat alga banyak tumbuh di danau-danau dan
ekosistem air lainnya. Problem ini disinyalir akibat langsung dari
aliran limbah domestik. Hingga saat itu belum diketahui secara pasti
unsur kimiawi yang sesungguhnya berperan besar dalam munculnya
eutrofikasi ini.
Masalah utama sebagai pemicu terjadinya proses
peledakan kelimpahan fitoplankton di suatu perairan adalah kodisi
lingkungan perairan tersebut yaitu adanya peningkatan nutrisi yang tidak
seimbang pada trofik level di lapisan eufonik. Peningkatan masuknya
nutrisi bisa merupakan proses alami (seperti proses umbulan atau
upwelling, masukan dari air sungai yang tercemar) atau akibat aktivitas
manusia. Selain itu buangan bahan organik diperairan biasanya berupa
bahan nutrisi dari hasil pemupukan (fosfat, nitrogen dan potasium)
sebagai penyumbang utama akan pencemaran di perairan sehingga
mengakibatkan beberapa jenis biota perairan mati (Sediadi & Thoha,
2000).
Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap
danau besar dan kecil, di antara nutrient yang berperan penting bagi
tanaman (karbon, nitrogen, dan fosfor) ternyata fosfor merupakan elemen
kunci dalam proses eutrofikasi. Suatu perairan dikatakan eutrofik jika
konsentrasi total fosfor berada dalam rentang 35-100 µg/L.
Sebuah
percobaan berskala besar yang pernah dilakukan pada tahun 1968 terhadap
Danau Erie (ELA Lake 226) di Amerika Serikat membuktikan bahwa danau
yang hanya ditambahkan karbon dan nitrogen tidak mengalami fenomena
algal bloom selama delapan tahun pengamatan. Sebaliknya, bagian danau
lainnya yang ditambahkan fosfor (dalam bentuk senyawa fosfat) di samping
karbon dan nitrogen terbukti nyata mengalami algal bloom.
Menyadari
bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi,
maka perhatian para saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan
hidup semakin meningkat terhadap permasalahan ini. Ada kelompok yang
condong memilih cara-cara penanggulangan melalui pengolahan limbah cair
yang mengandung fosfat, seperti detergen dan limbah manusia, ada juga
kelompok yang secara tegas melarang keberadaan fosfor dalam detergen.
Program miliaran dollar pernah dicanangkan lewat institusi St Lawrence
Great Lakes Basin di AS untuk mengontrol keberadaan fosfat dalam
ekosistem air. Sebagai implementasinya, lahirlah peraturan perundangan
yang mengatur pembatasan penggunaan fosfat, pembuangan limbah fosfat
dari rumah tangga dan permukiman. Upaya untuk menyubstitusi pemakaian
fosfat dalam detergen juga menjadi bagian dari program tersebut (Anonim,
2009).
2.3. Akibat yang
Ditimbulkan Oleh Proses Eutrofikasi
Kondisi eutrofik sangat
memungkinkan algae, tumbuhan air berukuran mikro, untuk tumbuh
berkembang biak dengan pesat (blooming) akibat ketersediaan fosfat yang
berlebihan serta kondisi lain yang memadai. Hal ini bisa dikenali dengan
warna air yang menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan kekeruhannya
yang menjadi semakin meningkat. Banyaknya eceng gondok yang bertebaran
di rawa-rawa dan danau-danau juga disebabkan fosfat yang sangat
berlebihan ini. Akibatnya, kualitas air di banyak ekosistem air menjadi
sangat menurun. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, bahkan sampai
batas nol, menyebabkan makhluk hidup air seperti ikan dan spesies
lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga akhirnya mati. Hilangnya
ikan dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan
terganggunya keseimbangan ekosistem air. Permasalahan lainnya,
cyanobacteria (blue-green algae) diketahui mengandung toksin sehingga
membawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan. Algal bloom juga
menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan
pariwisata sehingga dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak
sedikit untuk mengatasinya (Anonim, 2009).
Selain hal itu, dampak
lain yang dapat terjadi akibat proses eutrofikasi antara lain :
Blooming algae dan tidak terkontrolnya pertumbuhan tumbuhan akuatik lain
Terjadi kekeruhan perairan
Terjadi deplesi oksigen, terutama di
lapisan yang lebih dalam dari danau atau waduk
Terjadi
supersaturasi oksigen
Berkurangnya jumlah dan jenis spesies
tumbuhan dan hewan
Berubahnya komposisi dari banyaknya spesies ikan
menjadi sedikit spesies ikan
Berkurangnya hasil perikanan akibat
deplesi oksigen yang signifikan d perairan
Produksi substansi
beracun oleh beberapa spesies blue-green algae
Ikan yang ada di
perairan menjadi berbau lumpur
Pengurangan nilai keindahan dari
danau atau waduk karena berkurangnya kejernihan air
Menurunkan
kualitas air sebagai sumber air minum dan MCK
2.4. Strategi Penanggulangan Eutrofikasi
Dewasa
ini persoalan eutrofikasi tidak hanya dikaji secara lokal dan temporal,
tetapi juga menjadi persoalan global yang rumit untuk diatasi sehingga
menuntut perhatian serius banyak pihak secara terus-menerus. Eutrofikasi
merupakan contoh kasus dari problem yang menuntut pendekatan lintas
disiplin ilmu dan lintas sektoral.
Ada beberapa faktor yang
menyebabkan penanggulangan terhadap problem ini sulit membuahkan hasil
yang memuaskan. Faktor-faktor tersebut adalah aktivitas peternakan yang
intensif dan hemat lahan, konsumsi bahan kimiawi yang mengandung unsur
fosfat yang berlebihan, pertumbuhan penduduk bumi yang semakin cepat,
urbanisasi yang semakin tinggi, dan lepasnya senyawa kimia fosfat yang
telah lama terakumulasi dalam sedimen menuju badan air. Oleh karena itu
salah satu solusi yang penting yaitu dibutuhkan suatu kebijakan yang
kuat dalam mengontrol pertumbuhan penduduk serta penggunaan fosfat
terutama di bidang pertanian. Dalam pemecahan problem ini, peran serta
pemerintah dan seluruh masyarakat sangat penting terutama untuk
mengelola, memelihara, dan melestarikan sumber daya air demi kepentingan
bersama (Anonim, 2009).
Pada umumnya ada dua cara untuk
menanggulangi eutrofikasi (Anonim, 2009) :
1. Attacking symptoms
Yaitu dengan
mencegah pertumbuhan vegetasi penyebab eutrofikasi dan meningkatkan
oksigen terlarut di dalam perairan. Untuk cara ini ada beberapa metode
yang dapat digunakan :
Chemical treatment yang dimaksudkna untuk
mengurangi nutrien berlebih yang terkandung dalam air
Aerasi
Harvesting algae (memanen algae) untuk mengurangi algae yang tumbuh
subur di permukaan air
2.
Getting at the root cause
Yaitu
mengurangi nutrien dan sedimen berlebih yang masuk ke dalam air. Ada
beberapa metode yang dapat digunakan :
Pembatasan penggunaan fosfat
Pembuangan limbah fosfat dari rumah tangga dan pemukiman
Upaya
untuk mensubstitusi pemakaian fosfat dalam detergen
Namun cara ini
akan lebih efektif dilakukan apabila dari pemerintah sendiri
mengeluarkan peraturan mengenai penggunaan bahan-bahan yang mengandung
fosfat.
Sumber:
Anonim. 2009. Dekomposisi zat organik.
[terhubung berkala]. www.wordpress.com. [diakses pada tanggal 14
November 2009, pukul 21.00]
Anonim. 2009. Eutrofikasi. [terhubung
berkala]. www.wikipedia.com [diakses pada tanggal 15 November 2009,
pukul 21.30]
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan
Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Mulyadi,
Aras. 1999. Pertumbuhan dan Daya Serap Nutrient dari Mikroalgae
Dunalilella tertiolecta yang Dipelihara pada Limbah Domestik. Jurnal
Natur Indonesia 1I (1): 65 - 68 (1999). Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.
Sediadi, H., dan A. Thoha.
2000. Kelimpahan Dan Keanekaragaman Fitoplankton Di Perairan Sekitar
Tambak Di Daerah Kamal, Tangerang, Jakarta. Jurnal. Puslitbang
Oseanologi-LIPI, Jakarta.
Senin, 21 Desember 2009
Angin
0Latar Belakang
Angin
merupakan gerakan udara yang disebabkan oleh perbedaan tekanan udara.
Angin memiliki arti penting bagi banyak disiplin ilmu alam, karena pola
arah dan kecepatan angin baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat mempengaruhi komponen fisik, kimia, dan biologi dalam suatu
ekosistem. Aktivitas angin yang berhubungan dengan laut menjadi
konsentrasi tersendiri bagi insan oseanografi.
Angin adalah salah
satu faktor yang paling bervariasi dalam membangkitkan arus. Selain itu
juga angin berperan dalam pembangkitan gelombang laut.Oleh sebab itu
untuk lebih mendalami oseanografi fisika pengetahuan tentang
karakteristi distribusi frekuensi arah dan kecepatan angin pada suatu
wilayah perairan sangat perlu untuk kuasai. Sehingga kondisi fisik dari
laut dapat kita pahami secara terintegrasi, baik yang berkaitan dengan
sumber maupun faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena ini. Dengan
demikian diperlukan studi untuk menganalisa angin lebih lanjut, dengan
memperkirakan kecepatan dan arah angin berhembus. Hal ini akan membantu
meramalkan keadaan iklim dan perubahan cuaca di suatu tempat, yang
nantinya akan berguna bagi seluruh pihak, terutama pihak penerbangan.
Definisi Angin
Angin
adalah massa udara yang bergerak (Lakita dalam Farita, 2006). Menurut
Pariwono (1989), angin didefinisikan sebagai gerakan udara mendatar
(horizontal) yang disebabkan oleh perbedaan tekanan udara antara dua
tempat. Atmosfer selalu berusaha membentuk sebaran tekanan yang seragam,
maka massa udara yang padat dari tekanan tinggi mengalir ke tempat
bertekanan rendah dimana massa udaranya relatif lebih renggang.
Penyebab terjadinya angin
Salah
satu faktor penyebab timbulnya angin adalah adanya gradien tekanan. Gaya
gradien tekanan timbul karena adanya perbedaan suhu udara. Dalam hal
ini hubungan antara permukaan bumi dalam menerima energi radiasi
matahari yang sama tapi mempunyai laju pemanasan yang berbeda – beda
dari satu tempat ke tempat yang lain. Perbedaan tekanan udara pemanasan
terlihat dari suhu udara yang berada langsung diatas permukaan yang
terpanasi sehingga menyebabkan ketidakseimbangan yang menimbulkan
perbedaan tekanan udara antara satu tempat dengan tempat yang lain.
Gradien tekanan ini akan memicu terjadinya angin. Atmosfer selalu
berusaha membentuk sebaran tekanan yang seragam, maka massa udara yang
padat dari tekanan tinggi mengalir ke tempat bertekanan rendah dimana
massa udaranya relatif lebih renggang.
Kuat atau lemahnya
hembusan angin ditentukan oleh besarnya kelandaian tekanan udara atau
dengan kata lain kecepatan angin sebanding dengan kelandaian tekanan
udaranya. Disamping kelandaian tekanan, gerak angin ditentukan oleh
faktor-faktor lain seperti pengaruh rotasi bumi dan gaya gesek
(frictional force) (Pariwono, 1989). Semakin besar perbedaan tekanan
udara maka semakin besar pula kecepatan angin berhembus (Hasse dan
Dobson, 1986 dalam Farita, 2006).
Tornado,sumber:www.sipil93.com
Faktor
lain yang berpengaruh dalam pembentukan angin adalah gaya coriolis.
Gaya coriolis timbul akibat rotasi bumi. Gaya coriolis menyebabkan
perubahan gerak angin ke arah kanan pada belahan bumi bagian utara dan
pembelokan angin ke arah kiri pada belahan bumi bagian selatan.
Arah
angin dipengaruhi oleh tiga faktor :
1) Gradien barometrik
2)
Rotasi bumi
3) Kekuatan yang menahan (rintangan)
Makin besar
gradien barometrik, makin besar pula kekuatannya. Angin yang besar
kekuatannya makin sulit berbelok arah. Rotasi bumi, dengan bentuk bumi
yang bulat, menyebabkan pembelokan arah angin. Pembelokan angin di
ekuator sama dengan 0 (nol). Makin ke arah kutub pembelokannya makin
besar. Pembelokan angin yang mencapai 900 sehingga sejajar dengan garis
isobar disebut angin geotropik. Hal ini banyak terjadi di daerah
beriklim sedang di atas samudra. Kekuatan yang menahan dapat membelokan
arah angin. Sebagai contoh, pada saat melalui gunung, angin akan
berbelok ke arah kiri, ke kanan atau ke atas.
Jenis-jenis angin
Jenis-jenis angin
secara umum dapat dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut, yaitu
:
1.Angin Geostropik
Angin yang timbul setelah gaya gradien
tekanan dan gaya coriolis mengalami keseimbangan serta paralel terhadap
isobar
Asumsi :
a. garis isobar lurus dan paralel
b. tidak ada gaya sentrifugal/sentripetal
c. tidak ada
gesekan
Kondisi yang mendekati :
a. 2-3 km dpl atau
b. Di lintang tinggi ketika coriolis mendekati nol.
Aliran Angin Geostrofik, sumber:www.atmos.millersville.edu
2.
Angin Gradien
Angin yang timbul akibat ada pengaruh gaya
sentrifugal-sentripetal. Dimana kenyataan di alam isobar tidak pernah
lurus akan tetapi melengkung.
Angin Gradien, sumber:www.squarecirclez.com
3.Angin
Vertikal
Angin vertikal timbul karena adanya pengaruh dari gaya
gravitasi bumi dan juga gaya gerak udara keatas yang diakibatkan adanya
perbedaan tekanan.
Angin di
lautan
Angin yang berhembus di permukaan perairan akan
menimbulkan wind wave, yaitu gelombang yang ditimbulkan oleh angin.
Peristiwa ini merupakan pemindahan tenaga angin menjadi tenaga gelombang
di permukaan air dan gelombang itu sendiri meneruskan tenaganya kepada
peristiwa lainnya diantaranya gerakan molekul air. Selain menimbulkan
gelombang di permukaan air, angin juga dapat menyebabkan terjadinya arus
(Arif,1980 dalam Farita, 2006).
Angin yang bertiup di permukaan
laut menimbulkan arus di permukaan laut yang tergantung dari kecepatan
serta lamanya angin bertiup. Arus lapisan bawah kolom air memiliki
kecepatan yang lebih kecil dari arus di lapisan permukaan laut karena
adanya energi yang hilang (Meyers, 1996). Arah arus tidak selalu sama
dengan angin. Hal ini disebabkan karena adanya gaya Coriolis yang
berbelok ke kanan di belahan bumi bagian utara dan ke kiri di belahan
bumi bagian selatan. Gaya gesekan molekul dari massa air membuat lapisan
permukaan dibelokkan oleh lapisan diatasnya sampai pada kedalaman
tertentu hingga gesekan molekul ini tidak lagi bekerja. Fenomena
pembelokan arus ini dikenal dengan Spiral Ekman ( meyers, 1996).
Menurut
teori pembentukan gelombang oleh angin, angin yang berhembus di suatu
perairan mendorong massa air bagian permukaan sehingga terjadi
penimbunan. Di balik penimbunan ini akan terbentuk suatu daerah
bertekanan rendah yang terlindung oleh angin. Hal ini akan menyebabkan
penimbunan yang terjadi semakin besar. Sesuai dengan Hukum Kekekalan
Massa, penimbunan ini akan disertai dengan penurunan permukaan lainnya.
Kemudian permukaan yang naik akan turun kembali akibat gaya gravitasi,
sedang bagian lainnya akan naik lagi, dan begitu seterusnya (Sverdrup et
al, 1946 dalam Farita, 2006).
Ketika angin berhembus di laut,
energi yang ditransfer dari angin ke batas permukaan, sebagian energi
ini digunakan dalam pembentukan gelombang gravitasi permukaan, yang
memberikan pergerakan air dari yang kecil ke arah perambatan gelombang
dan sebagian untuk membawa arus.
Angin pasat Tenggara yang muncul
terus menerus sepanjang tahun mengakibatkan permukaan laut sepanjang
pantai Mindanau-Halmahera-Irian Jaya di Samudera Pasifik bagian barat
lebih tinggi dari permukaan laut sepanjang pantai Sumatera-Jawa-Sumbawa
di Samudera Hindia bagian timur. Akibat adanya gradien tekanan yang
disebabkan oleh perbedaan tinggi permukaan air laut, sejumlah massa air
Samudera Pasifik akan mengalir ke Samuder Hindia (Wyrtki, 1961).
Pola umum angin di Indonesia
Di
daerah tropis akan terjadi angin dari daerah maksimum subtropis ke
daerah minimum equator. Angin ini disebut angin passat timur laut di
belahan bumi utara dan angin passat tenggara di belahan bumi selatan.
Angin passat banyak membawa uap air karena berhembus di laut lepas. Akan
tetapi pada beberapa wilayah dipermukaan bumi angin passat tersebut
mengalami perubahan arah akibat pengaruh lingkungan setempat. Di
Indonesia yang secara geografis terletak di antara dua benua (Asia dan
Australia) dan dua samudera serta letak matahari yang berubah setiap
enam bulan berada di utara dan enam bulan berada di selatan
khatulistiwa, maka angin passat tersebut mengalami perubahan menjadi
angin muson (angin musim) barat dan angin muson timur( Wyrtki, 1961).
Di
daerah khatulistiwa Samudera Pasifik, Angin Pasat Tenggara berhembus
secara normal sepanjang tahun. Angin Pasat mengakibatkan massa air yang
hangat di bagian Timur Samudera Pasifik bergerak menuju perairan Timur
Indonesia. Pergerakan massa air tersebut semakin bekurang pada beberapa
bagian dari Laut Indonesia. Hal yang sama ditunjukkan pada saat angin
berhembus pada daerah khatulistiwa selama periode pancaroba. Hal ini
mengakibatkan daerah Kepulauan Indonesia yang terletak antara samudera
hindia bagian Timur dengan Samudera Pasifik bagian Barat menyumbangkan
tempat penyimpana bahang (heat) terbesar dalam lautan dunia. Di dalam
dan sekeliling Indonesia ini didapatkan suhu permukaan laut yang tinggi
(>28º C). Suhu yang tinggi tersebut akan mempengaruhi pertukaran
bahang dan mengatur interaksi antara atmosfer dan lautanyang akan
berakibat beasar tehadap cuaca lokal Kepulauan Indonesia dan dunia.
Angin
Pasat Tenggara yang muncul terus menerus sepanjang tahun mengakibatkan
permukaan laut sepanjang pantai Mindanao- Halmahera- Irian Jaya di
Samudera Pasifik bagian Barat lebih tinggi daripada permukaan laut
sepanjang pantai Sumatera - Jawa – Sumbawa di Samudera Hindia bagian
Timur. Akibat adanya gradien tekanan yang disebakan oleh perbedaan
tinggi permukaan laut, sejumlah massa air Samudera Pasifik akan mengalir
ke Samudera Hindia (Wyrtki, 1961).
Pola angin yang sangat
berperan di Indonesia adalah Angin Muson, hal ini disebakan karena
Indonesia teletak diantara Benua Asia dan Australia diantara Samudera
Pasifik dan Samudera Hindia. Menurut Wyrtki (1961), keadaan musim di
Indonesia terbagi menjadi tiga golongan, yaitu :
Musim barat
(Desember – April)
Pada musim Barat pusat tekanan udara tinggi
berekembang diatas benua Asia dan pusat tekanan udara rendah terjadi
diatas benua Australia sehingga angin berhembus dari barat laut menuju
Tenggara. Di Pulau Jawa angin ini dikenal sebagai Angin Muson Barat
Laut. Musim Barat umumnya membawa curah hujan yang tinggi di Pulau Jawa.
Angin muson barat berhembus pada bulan Oktober - April, matahari berada
di belahan bumi selatan, mengakibatkan belahan bumi selatan khususnya
Australia lebih banyak memperoleh pemanasan matahari daripada benua
Asia. Akibatnya di Australia bertemperatur tinggi dan tekanan udara
rendah (minimum). Sebaliknya di Asia yang mulai ditinggalkan matahari
temperaturnya rendah dan tekanan udaranya tinggi (maksimum).
Oleh
karena itu terjadilah pergerakan angin dari benua Asia ke benua
Australia sebagai angin muson barat. Angin ini melewati Samudera Pasifik
dan Samudera Indonesia serta Laut Cina Selatan. Karena melewati lautan
tentunya banyak membawa uap air dan setelah sampai di kepulauan
Indonesia turunlah
hujan. Setiap bulan November, Desember, dan
Januari Indonesia bagian barat sedang mengalami musim hujan dengan curah
hujan yang cukup tinggi.
Musim Timur (April - Oktober)
Pada
musim Timur pusat tekanan udara rendah yang terjadi diatas Benua Asia
dan pusat tekanan udara tinggi diatas Benua Australia menyebabkan angin
behembu dari Tenggara menuju Barat Laut. Di Pulau Jawa bertiup Angin
Muson Tenggara. Selama musim Timur, Pulau Jawa biasanya mengalami
kekeringan. Angin muson timur berhembus setiap bulan April - Oktober,
ketika matahari mulai bergeser ke belahan bumi utara. Di belahan bumi
utara khususnya benua Asia temperaturnya tinggi dan tekanan udara rendah
(minimum). Sebaliknya di benua Australia yang telah ditinggalkan
matahari, temperaturnya rendah dan tekanan udara tinggi (maksimum).
Terjadilah pergerakan angin dari benua Australia ke benua Asia melalui
Indonesia sebagai angin muson timur. Angin ini tidak banyak menurunkan
hujan, karena hanya melewati laut kecil dan jalur sempit seperti Laut
Timor, Laut Arafuru, dan bagian selatan Irian Jaya, serta Kepulauan Nusa
Tenggara. Oleh sebab itu, di Indonesia sering menyebutnya sebagai musim
kemarau.
Di antara kedua musim, yaitu musim penghujan dan
kemarau terdapat musim lain yang disebut Musim Pancaroba (Peralihan).
Peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau disebut musim kemareng,
sedangkan peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan disebut musim
labuh. Adapun ciri-ciri musim pancaroba (peralihan), yaitu antara lain
udara terasa panas, arah angin tidak teratur, sering terjadi hujan
secara tiba-tiba dalam waktu yang singkat dan lebat.
Musim
Peralihan (Maret – Mei dan September – November)
Periode Maret – Mei
dikenal seagai musim Peralihan I atau Muson pancaroba awal tahun,
sedangkan periode Septemer – November disebt musim peralihan II atau
musim pancaroba akhir tahun. Pada musim-musim Peralihan, matahari
bergerak melintasi khatulistiwa, sehingga angin menjadi lemah dan
arahnya tidak menentu.
Selain angin muson barat dan timur juga
terdapat angin lokal. Angin ini bertiup setiap hari, seperti angin
darat, angin laut, angin lembah dan angin gunung.
Angin lokal dapat
di jelaskan sebagai berikut :
Angin
Darat dan Angin Laut
Angin ini terjadi di daerah pantai yang
diakibatkan adanya perbedaan sifat daratan dan lautan. Pada malam hari
daratan lebih dingin daripada lautan sehingga di daratan merupakan
daerah maksimum yang menyebabkan terjadinya angin darat. Sebaliknya,
pada siang hari terjadi angin laut. Perhatikan gambar di bawah ini.
Kedua angin ini banyak dimanfaatkan oleh para nelayan tradisional untuk
menangkap ikan di laut. Pada malam hari saat bertiupnya angin darat,
para nelayan pergi menangkap ikan di laut. Sebaliknya pada siang hari
saat bertiupnya angin laut, para nelayan pulang dari penangkapannya.
Angin Lembah dan Angin Gunung
Pada
siang hari puncak gunung lebih cepat menerima panas daripada lembah
yang dalam keadaan tertutup. Puncak gunung tekanan udaranya minimum dan
lembah tekanan udaranya maksimum. Karena keadaan ini maka udara bergerak
dari lembah menyusur lereng menuju ke puncak gunung. Angin dari lembah
ini disebut angin lembah. Pada malam hari puncak gunung lebih cepat
mengeluarkan panas daripada lembah. Akibatnya di puncak gunung
bertekanan lebih tinggi (maksimum) dibandingkan dengan di lembah
(minimum) sehingga angin bertiup dari puncak gunung menuruni lereng
menuju ke lembah. Angin dari puncak gunung ini disebut angin gunung.
sumber:
Anonim.
2006. About WR Plot. http:// www.weblakes.com: 28 November 2008
Farita,
Yadranka. 2006. Variabilitas Suhu di Perairan Selatan Jawa Barat dan
Hubungannya dengan Angin Muson, Indian Ocean Dipole Mode dan El Nino
Southern Oscilation.Skripsi. Departemen Ilmu Kelautan., Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelauta, Institut Pertanian Bogor.
Meyers, G.
1996. Variation of Indonesia Throughflow and the El-nino-Southern
Oscillation. Journal of Geophysical Research, Vol. 101. American
Geophysical Union
Pariwono, J.I. 1989. Gaya Penggerak Pasang Surut.
Dalam Pasang Surut. Ed. Ongkosongo, O.S.R. dan Suyarso. P3O-LIPI.
Jakarta. Hal. 13-23
Sakti. Eko Putra. 2004. Variabilitas Angin dan
Paras Laut Serta Interaksinya di Perairan Utara dan Selatan Pulau Jawa.
Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Wyrtki, K. 1961. Physical
Oceanography of Southeast Asean Waters. Naga Report \',I. 2. The
University of California, La Jolla, California.
Pasang Surut
0Definisi Pasang Surut
Menurut
Pariwono (1989), fenomena pasang surut diartikan sebagai naik turunnya
muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa
terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi.Sedangkan menurut
Dronkers (1964) pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan
naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh
kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda
astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa
lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih
kecil. Pasang surut yang terjadi di bumi ada tiga jenis yaitu: pasang
surut atmosfer (atmospheric tide), pasang surut laut (oceanic tide) dan
pasang surut bumi padat (tide of the solid earth).
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik
gravitasi dan efek sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke
arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan
massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan
lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih
besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut
karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gaya
tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan
menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut.
Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut
antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari
Teori Pasang Surut
Teori Kesetimbangan (Equilibrium Theory)
Teori
kesetimbangan pertama kali diperkenalkan oleh Sir Isaac Newton
(1642-1727). Teori ini menerangkan sifat-sifat pasut secara kualitatif.
Teori terjadi pada bumi ideal yang seluruh permukaannya ditutupi oleh
air dan pengaruh kelembaman (Inertia) diabaikan. Teori ini menyatakan
bahwa naik-turunnya permukaan laut sebanding dengan gaya pembangkit
pasang surut (King, 1966). Untuk memahami gaya pembangkit passng surut
dilakukan dengan memisahkan pergerakan sistem bumi-bulan-matahari
menjadi 2 yaitu, sistem bumi-bulan dan sistem bumi matahari.
Pada
teori kesetimbangan bumi diasumsikan tertutup air dengan kedalaman dan
densitas yang sama dan naik turun muka laut sebanding dengan gaya
pembangkit pasang surut atau GPP (Tide Generating Force) yaitu
Resultante gaya tarik bulan dan gaya sentrifugal, teori ini berkaitan
dengan hubungan antara laut, massa air yang naik, bulan, dan matahari.
Gaya pembangkit pasut ini akan menimbulkan air tinggi pada dua lokasi
dan air rendah pada dua lokasi (Gross, 1987).
Teori Pasut Dinamik (Dynamical Theory)
Pond
dan Pickard (1978) menyatakan bahwa dalam teori ini lautan yang homogen
masih diasumsikan menutupi seluruh bumi pada kedalaman yang konstan,
tetapi gaya-gaya tarik periodik dapat membangkitkan gelombang dengan
periode sesuai dengan konstitue-konstituennya. Gelombang pasut yang
terbentuk dipengaruhi oleh GPP, kedalaman dan luas perairan, pengaruh
rotasi bumi, dan pengaruh gesekan dasar. Teori ini pertama kali
dikembangkan oleh Laplace (1796-1825). Teori ini melengkapi teori
kesetimbangan sehingga sifat-sifat pasut dapat diketahui secara
kuantitatif. Menurut teori dinamis, gaya pembangkit pasut menghasilkan
gelombang pasut (tide wive) yang periodenya sebanding dengan gaya
pembangkit pasut. Karena terbentuknya gelombang, maka terdapat faktor
lain yang perlu diperhitungkan selain GPP. Menurut Defant (1958),
faktor-faktor tersebut adalah :
• Kedalaman perairan dan luas
perairan
• Pengaruh rotasi bumi (gaya Coriolis)
•
Gesekan dasar
Rotasi bumi menyebabkan semua benda yang bergerak
di permukaan bumi akan berubah arah (Coriolis Effect). Di belahan bumi
utara benda membelok ke kanan, sedangkan di belahan bumi selatan benda
membelok ke kiri. Pengaruh ini tidak terjadi di equator, tetapi semakin
meningkat sejalan dengan garis lintang dan mencapai maksimum pada kedua
kutub. Besarnya juga bervariasi tergantung pada kecepatan pergerakan
benda tersebut.
Menurut Mac Millan (1966) berkaitan dengan
dengan fenomeana pasut, gaya Coriolis mempengaruhi arus pasut. Faktor
gesekan dasar dapat mengurangi tunggang pasut dan menyebabkan
keterlambatan fase (Phase lag) serta mengakibatkan persamaan gelombang
pasut menjadi non linier semakin dangkal perairan maka semaikin besar
pengaruh gesekannya.
Faktor
Penyebab Terjadinya Pasang Surut
Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya pasang surut berdasarkan teori kesetimbangan
adalah rotasi bumi pada sumbunya, revolusi bulan terhadap matahari,
revolusi bumi terhadap matahari. Sedangkan berdasarkan teori dinamis
adalah kedalaman dan luas perairan, pengaruh rotasi bumi (gaya
coriolis), dan gesekan dasar. Selain itu juga terdapat beberapa faktor
lokal yang dapat mempengaruhi pasut disuatu perairan seperti, topogafi
dasar laut, lebar selat, bentuk teluk, dan sebagainya, sehingga berbagai
lokasi memiliki ciri pasang surut yang berlainan (Wyrtki, 1961).
Pasang
surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek
sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat
rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi
berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil
dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada
gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak
bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi
menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua
tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari
tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, yaitu sudut antara
sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari (Priyana,1994).
Bulan
dan matahari keduanya memberikan gaya gravitasi tarikan terhadap bumi
yang besarnya tergantung kepada besarnya masa benda yang saling tarik
menarik tersebut. Bulan memberikan gaya tarik (gravitasi) yang lebih
besar dibanding matahari. Hal ini disebabkan karena walaupun masa bulan
lebih kecil dari matahari, tetapi posisinya lebih dekat ke bumi.
Gaya-gaya ini mengakibatkan air laut, yang menyusun 71% permukaan bumi,
menggelembung pada sumbu yang menghadap ke bulan. Pasang surut
terbentuk karena rotasi bumi yang berada di bawah muka air yang
menggelembung ini, yang mengakibatkan kenaikan dan penurunan permukaan
laut di wilayah pesisir secara periodik. Gaya tarik gravitasi matahari
juga memiliki efek yang sama namun dengan derajat yang lebih kecil.
Daerah-daerah pesisir mengalami dua kali pasang dan dua kali surut
selama periode sedikit di atas 24 jam (Priyana,1994)
Tipe Pasang Surut
Perairan laut
memberikan respon yang berbeda terhadap gaya pembangkit pasang
surut,sehingga terjadi tipe pasut yang berlainan di sepanjang pesisir.
Menurut Dronkers (1964), ada tiga tipe pasut yang dapat diketahui, yaitu
:
1. Pasang surut diurnal. Yaitu bila dalam sehari terjadi satu satu
kali pasang dan satu kali surut. Biasanya terjadi di laut sekitar
katulistiwa.
2. pasang surut semi diurnal. Yaitu bila dalam sehari
terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang hampir sama tingginya.
3.
pasang surut campuran. Yaitu gabungan dari tipe 1 dan tipe 2, bila
bulan melintasi khatulistiwa (deklinasi kecil), pasutnya bertipe semi
diurnal, dan jika deklinasi bulan mendekati maksimum, terbentuk pasut
diurnal.
Menurut Wyrtki (1961), pasang surut di Indonesia dibagi
menjadi 4 yaitu :
1. Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide)
Merupakan
pasut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam
satu hari, ini terdapat di Selat Karimata
2. Pasang surut harian
ganda (Semi Diurnal Tide)
Merupakan pasut yang terjadi dua kali
pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari,
ini terdapat di Selat Malaka hingga Laut Andaman.
3. Pasang surut
campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal)
Merupakan
pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut
tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat
berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan
Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.
4. Pasang surut campuran
condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal)
Merupakan
pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari
tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan
memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan
Jawa dan Indonesia Bagian Timur
Penentuan tipe pasang surut dapat
menggunakan rumus Formzahl sebagai berikut (Dietrich et al dalam
Panjaitan, 1992) :
F=(K1+o1)/(M2+S2)
dimana
:
F = Nilai Formzahl
K1 dan O1 = Amplitudo komponen
pasut diurnal
M2 dan S2 = Amplitudo komponen semi diurnal
Dengan
kisaran nilai Formzahl adalah :
0.00 < F ≤ 0.25 = Tipe semi
diurnal
0.25 < F ≤ 1.50 = Tipe campuran semidiurnal
1.50 < F
≤ 3.00 = Tipe campuran diurnal
F ≥ 3.00 = Tipe diurnal
Arus Pasut
Gerakan air vertikal
yang berhubungan dengan naik dan turunnya pasang
surut, diiringi oleh
gerakan air horizontal yang disebut dengan arus pasang
surut.
Permukaan air laut senantiasa berubah-ubah setiap saat karena gerakan
pasut, keadaan ini juga terjadi pada tempat-tempat sempit seperti teluk
dan selat, sehingga menimbulkan arus pasut (Tidal current). Gerakan
arus pasut dari laut lepas yang merambat ke perairan pantai akan
mengalami perubahan, faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah
berkurangnya kedalaman (Mihardja et,. al 1994).
Menurut King
(1962), arus yang terjadi di laut teluk dan laguna adalah akibat massa
air mengalir dari permukaan yang lebih tinggi ke permukaan yang lebih
rendah yang disebabkan oleh pasut. Arus pasang surut adalah arus yang
cukup dominan pada perairan teluk yang memiliki karakteristik pasang
(Flood) dan surut atau ebb. Pada waktu gelombang pasut merambat memasuki
perairan dangkal, seperti muara sungai atau teluk, maka badan air
kawasan ini akan bereaksi terhadap aksi dari perairan lepas.
Pada
daerah-daerah di mana arus pasang surut cukup kuat, tarikan gesekan pada
dasar laut menghasilkan potongan arus vertikal, dan resultan turbulensi
menyebabkan bercampurnya lapisan air bawah secara vertikal. Pada
daerah lain, di mana arus pasang surut lebih lemah, pencampuran sedikit
terjadi, dengan demikian stratifikasi (lapisan-lapisan air dengan
kepadatan berbeda) dapat terjadi. Perbatasan antar daerah-daerah kontras
dari perairan yang bercampur dan terstratifikasi seringkali secara
jelas didefinisikan, sehingga terdapat perbedaan lateral yang ditandai
dalam kepadatan air pada setiap sisi batas.
Alat-alat Pengukuran Pasang Surut
Beberapa
alat prngukuran pasang surut diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Tide Staff. Alat ini berupa papan yang telah diberi skala dalam meter
atau centi meter. Biasanya digunakan pada pengukuran pasang surut di
lapangan.Tide Staff (papan Pasut) merupakan alat pengukur pasut paling
sederhana yang umumnya digunakan untuk mengamati ketinggian muka laut
atau tinggi gelombang air laut. Bahan yang digunakan biasanya terbuat
dari kayu, alumunium atau bahan lain yang di cat anti karat.
Syarat
pemasangan papan pasut adalah :
1. Saat pasang tertinggi tidak
terendam air dan pada surut terendah masih tergenang oleh air
2.
Jangan dipasang pada gelombang pecah karena akan bias atau pada daerah
aliran sungai (aliran debit air).
3. Jangan dipasang didaerah dekat
kapal bersandar atau aktivitas yang menyebabkan air bergerak secara
tidak teratur
4. Dipasang pada daerah yang terlindung dan pada tempat
yang mudah untuk diamati dan dipasang tegak lurus
5. Cari tempat
yang mudah untuk pemasangan misalnya dermaga sehingga papan mudah
dikaitkan
6. Dekat dengan bench mark atau titik referensi lain yang
ada sehingga data pasang surut mudah untuk diikatkan terhadap titik
referensi
7. Tanah dan dasar laut atau sungai tempat didirikannya
papan harus stabil
8. Tempat didirikannya papan harus dibuat pengaman
dari arus dan sampah
2. Tide gauge.
Merupakan perangkat
untuk mengukur perubahan muka laut secara mekanik dan otomatis. Alat
ini memiliki sensor yang dapat mengukur ketinggian permukaan air laut
yang kemudian direkam ke dalam komputer.. Dalam
http://laut.gd.itb.ac.id tide gauge terdiri dari dua jenis yaitu :
•
Floating tide gauge (self registering)
Prinsip kerja alat ini
berdasarkan naik turunnya permukaan air laut yang dapat diketahui
melalui pelampung yang dihubungkan dengan alat pencatat (recording
unit). Pengamatan pasut dengan alat ini banyak dilakukan, namun yang
lebih banyak dipakai adalah dengan cara rambu pasut.
• Pressure tide
gauge (self registering)
Prinsip kerja pressure tide gauge hampir
sama dengan floating tide gauge, namun perubahan naik-turunnya air laut
direkam melalui perubahan tekanan pada dasar laut yang dihubungkan
dengan alat pencatat (recording unit). Alat ini dipasang sedemikian
rupa sehingga selalu berada di bawah permukaan air laut tersurut, namun
alat ini jarang sekali dipakai untuk pengamatan pasang surut.
3.
Satelit.
Sistem satelit altimetri berkembang sejak tahun 1975 saat
diluncurkannya sistem satelit Geos-3. Pada saat ini secara umum sistem
satelit altimetri mempunyai tiga objektif ilmiah jangka panjang yaitu
mengamati sirkulasi lautan global, memantau volume dari lempengan es
kutub, dan mengamati perubahan muka laut rata-rata (MSL) global. Prinsip
Dasar Satelit Altimetri adalah satelit altimetri dilengkapi dengan
pemancar pulsa radar (transmiter), penerima pulsa radar yang sensitif
(receiver), serta jam berakurasi tinggi. Pada sistem ini, altimeter
radar yang dibawa oleh satelit memancarkan pulsa-pulsa gelombang
elektromagnetik (radar) kepermukaan laut. Pulsa-pulsa tersebut
dipantulkan balik oleh permukaan laut dan diterima kembali oleh satelit.
Prinsip
penentuan perubahan kedudukan muka laut dengan teknik altimetri yaitu
pada dasarnya satelit altimetri bertugas mengukur jarak vertikal dari
satelit ke permukaan laut. Karena tinggi satelit di atas permukaan
ellipsoid referensi diketahui maka tinggi muka laut (Sea Surface Height
atau SSH) saat pengukuran dapat ditentukan sebagai selisih antara tinggi
satelit dengan jarak vertikal. Variasi muka laut periode pendek harus
dihilangkan sehingga fenomena kenaikan muka laut dapat terlihat melalui
analisis deret waktu (time series analysis). Analisis deret waktu
dilakukan karena kita akan melihat variasi temporal periode panjang dan
fenomena sekularnya (http://gdl.geoph.itb.ac.id)
Pasang Surut di Perairan Indonesia
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh dua lautan yaitu
Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik serta posisinya yang berada di
garis katulistiwa sehingga kondisi pasang surut, angin, gelombang, dan
arus laut cukup besar. Hasil pengukuran tinggi pasang surut di wilayah
laut Indonesia menunjukkan beberapa wilayah lepas laut pesisir daerah
Indonesia memiliki pasang surut cukup tinggi. Gambar 15 memperlihatkan
peta pasang surut wilayah lautan Indonesia. Dari gambar tersebut tampak
beberapa wilayah lepas laut pesisir Indonesia yang memiliki pasang surut
cukup tinggi antara lain wilayah laut di timur Riau, laut dan muara
sungai antara Sumatera Selatan dan Bangka, laut dan selat di sekitar
pulau Madura, pesisir Kalimantan Timur, dan muara sungai di selatan
pulau Papua (muara sungai Digul) (Sumotarto, 2003).
Keadaan
pasang surut di perairan Nusantara ditentukan oleh penjalaran pasang
surut dari Samudra Pasifik dan Hindia serta morfologi pantai dan
batimeri perairan yang kompleks dimana terdapat banyak selat, palung dan
laut yang dangkal dan laut dalam. Keadaan perairan tersebut membentuk
pola pasang surut yang beragam. Di Selat Malaka pasang surut setengah
harian (semidiurnal) mendominasi tipe pasut di daerah tersebut.
Berdasarkan pengamatan pasang surut di Kabil, Pulau Batam diperoleh
bilangan Formzhal sebesar 0,69 sehingga pasang surut di Pulau Batam dan
Selat Malaka pada umumnya adalah pasut bertipe campuran dengan tipe
ganda yang menonjol. Pasang surut harian (diurnal) terdapat di Selat
Karimata dan Laut Jawa. Berdasarkan pengamatan pasut di Tanjung Priok
diperoleh bilangan Formzhal sebesar 3,80. Jadi tipe pasut di Teluk
Jakarta dan laut Jawa pada umumnya adalah pasut bertipe tunggal.
Tunggang pasang surut di perairan Indonesia bervariasi antara 1 sampai
dengan 6 meter. Di Laut Jawa umumnya tunggang pasang surut antara 1 –
1,5 m kecuali di Selat madura yang mencapai 3 meter. Tunggang pasang
surut 6 meter di jumpai di Papua (Diposaptono, 2007).
sumber:
Defant,
A. 1958. Ebb And Flow. The Tides of Earth, Air, and Water. The
University of Michigan Press, Michigan.
Diposaptono, S. 2007.
Karakteristik Laut Pada Kota Pantai. Direktorat Bina Pesisir, Direktorat
Jendral Urusan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta.
Dronkers, J. J. 1964. Tidal Computations in
rivers and coastal waters. North-Holland Publishing Company. Amsterdam
Gross,
M. G.1990. Oceanography ; A View of Earth Prentice Hall, Inc. Englewood
Cliff. New Jersey
King, C. A. M. 1966. An Introduction to
Oceanography. McGraw Hill Book Company, Inc. New York. San Francisco.
Mac
Millan, C. D. H. 1966. Tides. American Elsevier Publishing Company,
Inc., New York
Miharja, D. K., S. Hadi, dan M. Ali, 1994. Pasang
Surut Laut. Kursus Intensive Oseanografi bagi perwira TNI AL. Lembaga
Pengabdian masyarakat dan jurusan Geofisika dan Meteorologi. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
Pariwono, J.I. 1989. Gaya Penggerak
Pasang Surut. Dalam Pasang Surut. Ed. Ongkosongo, O.S.R. dan Suyarso.
P3O-LIPI. Jakarta. Hal. 13-23
Pickard, G. L. 1993. Descriptive
Physical Oceanography. Pergamon Press. Oxford.
Pond dan
Pickard, 1978. Introductory to Dynamic Oceanography. Pergamon Press,
Oxford
Priyana, 1994. Studi pola Arus Pasang Surut di Teluk
Labuhantereng Lombok. Nusa Tenggara Barat. Skripsi. Skripsi. Program
Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanandan
Kelautan.Institut Pertanian Bogor
Wyrtki, K. 1961. Phyical
Oceanography of the South East Asian Waters. Naga Report Vol. 2 Scripps,
Institute Oceanography, California.
www.dishidros.or.id
www.laut.gd.itb.ac.id
www.gdl.geoph.itb.ac.id
Minggu, 20 Desember 2009
Fosfat
01 Latar Belakang
Di
perairan unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen,
melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan
polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Senyawa fosfor
membentuk kompleks ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat
tidak larut, dan mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat
dimanfaatkan oleh algae akuatik (Jeffries dan Mill dalam Effendi 2003).
Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh
tumbuhan. Karakteristik fosfor sangat berbeda dengan unsur-unsur utama
lain yang merupakan penyusun boisfer karena unsur ini tidak terdapat di
atmosfer. Pada kerak bumi, keberadaan fosfor relatif sedikit dan mudah
mengendap. Fosfor juga merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan
tingkat tinggi dan algae, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas
bagi tumbuhan dan algae akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat
produktivitas perairan.
Materi yang
menyusun tubuh organisme berasal dari bumi. Materi yang berupa
unsur-unsur terdapat dalam senyawa kimia yang merupakan materi dasar
makhluk hidup dan tak hidup. Siklus biogeokimia atau siklus organik
anorganik adalah siklus unsur atau senyawa kimia yang mengalir dari
komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi ke komponen abiotik. Siklus
unsur-unsur tersebut tidak hanya melalui organisme, tetapi juga
melibatkan reaksi-reaksi kimia dalam lingkungan abiotik sehingga disebut
siklus biogeokimia.
2.1 Sumber
dan Distribusi
Fosfor merupakan bahan makanan utama yang
digunakan oleh semua organisme untuk pertumbuhan dan sumber energi.
Fosfor di dalam air laut, berada dalam bentuk senyawa organik dan
anorganik. Dalam bentuk senyawa organik, fosfor dapat berupa gula fosfat
dan hasil oksidasinya, nukloeprotein dan fosfo protein. Sedangkan dalam
bentuk senyawa anorganik meliputi ortofosfat dan polifosfat. Senyawa
anorganik fosfat dalam air laut pada umumnya berada dalam bentuk ion
(orto) asam fosfat (H3PO4), dimana 10% sebagai ion fosfat dan 90% dalam
bentuk HPO42-. Fosfat merupakan unsur yang penting dalam pembentukan
protein dan membantu proses metabolisme sel suatu organisme (Hutagalung
et al, 1997).
Sumber fosfat diperairan laut pada wilayah pesisir
dan paparan benua adalah sungai. Karena sungai membawa hanyutan sampah
maupun sumber fosfat daratan lainnya, sehingga sumber fosfat dimuara
sungai lebih besar dari sekitarnya. Keberadaan fosfat di dalam air akan
terurai menjadi senyawa ionisasi, antara lain dalam bentuk ion H2PO4-,
HPO42-, PO43-. Fosfat diabsorpsi oleh fitoplankton dan seterusnya masuk
kedalam rantai makanan. Senyawa fosfat dalam perairan berasal daari
sumber alami seperti erosi tanah, buangan dari hewan dan pelapukan
tumbuhan, dan dari laut sendiri. Peningkatan kadar fosfat dalam air
laut, akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi (blooming)
fitoplankton yang akhirnya dapat menyebabkan kematian ikan secara
massal. Batas optimum fosfat untuk pertumbuhan plankton adalah 0,27 –
5,51 mg/liter (Hutagalung et al, 1997).
Fosfat dalam air laut
berbentuk ion fosfat. Ion fosfat dibutuhkan pada proses fotosintesis dan
proses lainnya dalam tumbuhan (bentuk ATP dan Nukleotid koenzim).
Penyerapan dari fosfat dapat berlangsung terus walaupun dalam keadaan
gelap. Ortofosfat (H3PO4) adalah bentuk fosfat anorganik yang paling
banyak terdapat dalam siklus fosfat. Distribusi bentuk yang beragam dari
fosfat di air laut dipengaruhi oleh proses biologi dan fisik.
Dipermukaan air, fosfat di angkut oleh fitoplankton sejak proses
fotosintesis. Konsentrasi fosfat di atas 0,3 µm akan menyebabkan
kecepatan pertumbuhan pada banyak spesies fitoplankton. Untuk
konsentrasi dibawah 0,3 µm ada bagian sel yang cocok menghalangi dan sel
fosfat kurang diproduksi. Mungkin hal ini tidak akan terjadi di laut
sejak NO3 selalu habis sebelum PO4 jatuh ke tingkat yang kritis. Pada
musim panas, permukaan air mendekati 50% seperti organik-P. Di laut
dalam kebanyakan P berbentuk inorganik. Di musim dingin hampir semua P
adalah inorganik. Variasi di perairan pantai terjadi karena proses
upwelling dan kelimpahan fitoplankton. Pencampuran yang terjadi
dipermukaan pada musim dingin dapat disebabkan oleh bentuk linear di air
dangkal. Setelah musim dingin dan musim panas kelimpahan fosfat akan
sangat berkurang.
Fosfor berperan dalam transfer energi di dalam
sel, misalnya yang terdapat pada ATP (Adenosine Triphospate) dan ADP
(Adenosine Diphosphate). Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari
asam ortofosfat adalah bentuk fosfor yang paling sederhana di perairan .
Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara
langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami
hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat
dimanfaatkan sebagai sumber fosfat. Setelah masuk kedalam tumbuhan,
misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi
organofosfat. Fosfat yang berikatan dengan ferri [Fe2(pO4)3] bersifat
tidak larut dan mengendap didasar perairan. Pada saat terjadi kondisi
anaerob, ion besi valensi tiga (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion
besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut dan melepaskan fosfat
keperairan, sehingga meningkatkan keberadaan fosfat diperairan (Effendi
2003).
2.2 Spesiasi Kimia
Secara
rinci perputaran campuran organik –P yang ditunjukkan di permukaan air
secara garis besar tidak diketahui. Sepenuhnya adalah larutan inorganik
fosfor seperti hasil ionisasi pada H3PO4
H3PO4->H+ + H2PO4
H3PO4->H+ + HPO42-
H3PO4->H+ + PO43-
Pecahan pada
bentuk ini dibatasi oleh pH dan komposisi pada air. Ionisasi konstan
untuk tiga tahap penguraian dapat didefinikan sebagai :
K1 = [H+]
[H2PO4] [H3PO4]
K2 = [H+] [HPO42-] [H2PO4-]
K3 = [H+]
[PO33-] [HPO42-]
2.3 Proses
pengambilan secara Fisik dan Biologi
Ortofosfat dihasilkan
dari dekomposisi tanaman atau jaringan yang membusuk, karena hal
tersebut merupakan proses yang mudah dan cepat maka terjadi sangat
tinggi di kolom perairan sehingga menyediakan fosfat untuk tanaman (
Davis dalam Effendi, 1987). Ketika fitoplankton mati, organik-P dengan
cepat berubah menjadi fosfat. Banyak fitoplankton dikonsumsi oleh
zooplankton dimana proses ini menghasilkan PO4.
Inorganik fosfat
terlarut terdiri atas 90% dari total fosfor selama waktu ketika produksi
organik, maka dari itulah proses pengambilan rendah. Tipe ini muncul
saat musim dingin. Saat musim panas, ketika produktifitas tinggi
inorganik fosfat berkurang setengah dari jumlah total.
2.4 Siklus Alami Fosfat
Banyak
sumber fosfat yang di pakai oleh hewan, tumbuhan, bakteri, ataupun
makhluk hidup lain yang hidup di dalam laut. Misalnya saja fosfat yang
berasal dari feses hewan (aves). Sisa tulang, batuan, yang bersifat
fosfatik, fosfat bebas yang berasal dari proses pelapukan dan erosi,
fosfat yang bebas di atmosfer, jaringan tumbuhan dan hewan yang sudah
mati. Di dalam siklus fosfor banyak terdapat interaksi antara tumbuhan
dan hewan, senyawa organik dan inorganik, dan antara kolom perairan,
permukaan, dan substrat. Contohnya beberapa hewan melepaskan sejumlah
fosfor padat di dalam kotoran mereka.
Dalam perairan laut yang
normal, rasio N/P adalah sebesar 15:1. Ratio N/P yang meningkat
potensial menimbulkan blooming atau eutrofikasiperairan, dimana terjadi
pertumbuhan fitoplankton yang tidak terkendali. Eutrofikasi potensial
berdampak negatif terhadap lingkungan, karena berkurangnya oksigen
terlarut yang mengakibatkan kematian organisme akuatik lainnya
(asphyxiation), selain keracunan karena zat toksin yang diproduksi oleh
fitoplankton (genus Dinoflagelata). Fitoplankton mengakumulasi N, P, dan
C dalam tubuhnya, masing – masing dengan nilai CF (concentration
factor) 3 x 104 untuk P, 16(3 x 104) untuk N dan 4 x 103 untuk C (Sanusi
2006).
2.5 Ketersediaan Fosfor
Studi
tentang sirkulasi fosfor di lingkungan perairan laut merupakan
perhatian di berbagai bidang ilmu bidang ilmu. Dengan menggunakan 32P
para peneliti menghasilkan kesimpulan umum bahwa bahwa konsentrasi
fosfor akan berubah karena fosfor merupakan salah satu zat yang
digunakan oleh fitoplankton dalam proses metabolisme. Damanhuri (1997)
menyatakan bahwa kadar fosfat akan semakin tinggi dengan menurnya
kedalaman. Konsentrasi fosfat relatif konstan pada perairan dalam
biasanya terjadi pengendapan sehingga nutrien meningkat seiring dengan
waktu karena proses oksidasi f dan bahan organik. Adanya proses run off
yang berasal dari daratan akan mensuplai kadar fosfat pada lapisan
permukaan, tetapi ini tidak terlalu besar. Penambahan terbesar dari
lapisan dalam melalui proses kenaikan masa air.
Fosfor muncul
pada bagian yang beragam di dalam lingkungan bahari, beberapa muncul
dalam bentuk susunan organik seperti protein dan gula, beberapa juga
muncul dalam bentuk kalsium organik dan sebagian dalam bentuk inorganik
dan partikel besi fosfat, lalu juga dalam bentuk fosfat terlarut,
walaupun fosfor muncul dalam konsentrasi dibawah nitrogen, tapi pada
kenyataanya fosfor dapat dengan mudah di buat atau tersedia di dalam
atau tersedia di dalam zona penetrasi cahaya yang mencegah fosfor
menjadi faktor pembatas di dalam produktifitas bahari.
Diperairan,
bentuk unsur fosfor berubah secara terus menerus akibat proses
dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik, dan bentuk anorganik
yang dilakukan oleh mikroba. Semua polifosfat mengalami hidrolisis
membentuk ortofosfat. Perubahan ini bergantung pada suhu yang mendekati
titik didih, perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat.
Kecepatan ini meningkat dengan menurunnya nilai pH. Perubahan polifosfat
menjadi ortofosfat pada air limbah yang mengandung banyak bakteri lebih
cepat dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada air bersih.
Keberadaan
fosfor diperairan alami biasanya relative kecil, dengan kaar yang lebih
sedikit dari pada kadar nitrogen. Fosfor tidak bersifat toksik bagi
manusia, hewan, dan ikan. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang
disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan
pertumbuhan algae di perairan (algae bloom). Algae yang berlimpah ini
dapat membentuk lapisan pada permukaan air, yang selanjutnya dapat
menghambat penetrasi oksigen dan cahaya mathari sehingga kurang
menguntungkan bagi ekosistem perairan. Pada saat perairan cukup
mengandung fosfor, algae mengakumulasi fosfor di dalam sel melebihi
kebutuhannya. Fenomena yang demikian dikenal istilah konsumsi berlebih
(luxury consumption). Kelebihan fosfor yang diserap akan dimanfaatkan
pada saat perairan mengalami defisiensi fosfor, sehingga algae masih
dapat hidup untuk beberapa waktuselama periode kekeurangan pasokan
fosfor (Effendi 2003)
Berdasarkan kadar fosfat total, perairan
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: perairan dengan tingkat kesuburan
rendah yang memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0 – 0.02
mg/liter; perairan dengan tingkat kesuburan sedang memiliki kadar fosfat
0.021 – 0.05 mg/liter; dan perairan dengan tingkat kesuburan tinggi,
memiliki kadar fosfat total 0.051 – 0.1 mg/liter (Effendi, 2003)
Pehitungan
persen pada beragam bentuk fosfat di H2O, NaCl, air laut, seperti
sebuah fungsi pada pH. Di laut dalam ion fosfat bentuknya lebih penting
(50% pada P= 1000 bar atau 10.000 m ). H2PO4- bebas adalah lebih besar
dengan persentase 49%, MgPO4-, 46%, dan 5% CaHPO4. Sementara PO43- 27%
seperti MgPO4- dan 73% seperti CaPO4.
Siklus
Fosfat Di Laut
Fosfor merupakan bagian protoplasma yang penting,
cenderung “beredar”, senyawa-senyawa organik terurai dan akibatnya
menghasilkan fosfat yang kembali tersedia bagi tumbuh-tumbuhan.
Reservoir yang tersbesar dari fosfor adalah bukan udara, melainkan
batu-batuan atau endapan-endapan lain yang telah terbentuk pada
abad-abad geologis yang telah lalu. Dan semua itu berangsur-angsur
terkikis, melepaskan fosfat kedalam ekosistem-ekosistem, tetapi banyak
juga yang lepas kedalam laut, dimana sebagian dari padanya di endapkan
dalam sedimen-sedimen dangkal, dan sebagian lagi hilang ke
sedimen-sedimen yang lebih dalam. Cara-cara pengendalian fosfor
kedaurnya sekarang atau yang ada kurang mencukupi untuk mengganti yang
hilang (Odum, 1993).
Di beberapa bagian dari dunia sekarang ini
tidak terdapat pengangkatan atau pemunculan sedimen yang luas, dan
kegiatan burung-burung laut dan ikanpun (dibawa oleh binatang dan
manusia kedarat) tidak cukup. Burung-burung laut jelas berperan penting
dalam pengambilan fosfor ke dalam daur (bukti endapan Guano di Peru yang
terkenal). Pemindahan fosfor dan bahan-bahan lain oleh burung-burung
dari laut ke dartan masih terus berlangsung, tetapi tidak dengan laju
yang sama. Tampaknya manusia juga berperan dalam proses penghilangan
fosfor. Walaupun manusia banyak mengambil ikan laut, Hutchinson menaksir
bahwa hanya kurang lebih 60.000 ton fosfor unsur pertahun yang
dikembalikan dalam jalan ini, dibandingkan dengan satu atau dua juta ton
batuan fosfat yang ditambang dan kebanyakan tercuci serta hilang.
Ahli-ahli pertanian memberitahukan, tidak perlu khawatir karena batuan
fosfat cadangan masih besar. Justru sekarang, manusia lebih
memperhatikan “ kekacauan dan kemacetan lalu lintas” fosfat yang larut
dalam jalan-jalan perairan yang di akibatkan dari meningkatnya
“pengikisan” yang tidak dapat di imbangi atau diganti oleh “sisitem
protoplasma” dan “sedimentasi” (Odum, 1993).
Fosfor tidak
bergerak secara merata dan lancar dari organisme ke lingkungan dan
kembali ke organisme. Umumnya laju pengambilan lebih cepat dari pada
laju pelepasan. Tumbuh-tumbuhan siap mengambil fosfor dalam keadaan
gelap maupun keadaan-keadaan lain apabila mereka tidak dapat
mempergunakannya. Selama periode pertumbuhan yang cepat dari
produsen-rodusen yang sering kali terjadi dalam musim semi, semua fosfor
yang tersedia sudah terikat dalam produsen-produsen dan
konsumen-konsumen. Konsentrasi fosfor pada sesuatu saat dapat mempunyai
sedikit hubungan dengan produktifitas ekosistem. Tingkat yang rendah
dari fosfat yang larut berarti bahwa sistemnya dimiskinkan atau
sistemnya secara metabolisme sangat giat, hanya dengan pengukuran laju
dari pemasukan keadaan sebenarnya dapat ditentukan (Odum, 1993).
sumber:
Effendi,
Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta : Kanisius
Hutagalung,
Horas P, Deddy Setiapermana, dan Hadi Riyono. 1997. Metode Analisis Air
Laut, Sedimen, dan Biota. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Odum,
Eugene P. 1993. Dasar – Dasar Ekologi. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada
Sanusi, Harpasis. 2006. KIMIA LAUT Proses Fisik Kimia dan
Interaksinya dengan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor : Departemen
Ilmu dan Teknologi Kelautan
Hewan Laut Abadi
0Mungkin tmen2 semua kurang percaya tentang adanya makhluk hidup yang
abadi. Tapi inilah yang terjadi, menurut laporan para ilmuwan rusia,
mereka telah menemukan mikroorganisme laut yang disebut "Turritopsis
nutricula". Makhluk ini dapat melakukan hal yang tidak dapat dilakukan
makhluk hidup lainnya, yaitu menjadi muda kembali. Ilmuwan menegaskan
bahwa: "Turritopsis nutricula" adalah satu-satunya biologi yang
ditemukan yang dapat kembali dari tahap sexual dewasa ke tahap larva
(hmm...). Jadi intinya dia tidak akan mati karena setelah dewasa mereka
lebih memilih menjadi anak kecil lagi daripada mati. Kondisi ini
berlangsung secara terus menerus.."Turritopsis nutricula" termasuk jenis
Hydrozoa yang menu utamanya adalah mikro organisme. Hewan ini biasanya
hidup melekat pada kapal yang berlayar ke seluruh dunia, karena
volumenya yang sangat kecil, sehingga tidak bisa dilihat apakah
berdampak pada ekosistem.
sumber:dinomarket.com
Minggu, 17 Januari 2010
Siput Pertama Berbadan Setengah Flora Setengah Fauna
0Pastinya kita belum terbayang bagaimana ada makhluk hidup yang
tubuhnya setengah flora setengah fauna. Pasalnya, siput yang baru
ditemukan ini bisa menghasilkan pigmen klorofil seperti layaknya
tumbuh-tumbuhan.
Para ilmuwan memperkirakan, siput cerdik
tersebut mencuri gen dari alga yang mereka makan sehingga bisa
menghasilkan klorofil. Dengan gen "curian", mereka bisa berfotosintesis,
yaitu proses tumbuhan untuk mengubah cahaya matahari menjadi energi.
"Hewan
ini bisa membuat molekul berisi energi tanpa makan apa-apa," kata
Sydney Pierce, pakar biologi dari Universitas South Florida di Tampa.
Pierce telah mempelajari mahluk unik tersebut, yang telah resmi
dinamakan Elysia chlorotica, selama 20 tahun.
Elysia chlorotica
Ia mengajukan temuan
terbarunya pada tanggal 7 Januari 2010, pada pertemuan tahunan Komunitas
Integratif dan Perbandingan Biologi di Seattle. Temuan ini dilaporkan
pertama kali oleh jurnal Science. "Ini pertama kalinya hewan
multiseluler bisa menghasilkan klorofil," tutur Pierce.
Siput
laut ini tinggal di rawa-rawa air asin di New England, Kanada. Selain
"mencuri" gen untuk menghasilkan pigmen hijau klorofil, hewan ini juga
mencuri bagian-bagian kecil sel yang disebut kloroplas, yang dipakai
untuk melakukan fotosintesis. Kloroplas menggunakan klorofil untuk
mengubah cahaya matahari menjadi energi, seperti tanaman, sehingga hewan
ini tak perlu makan untuk mendapatkan energi.
"Kami mengumpulkan
sejumlah hewan tersebut dan menyimpannya di akuarium selama
berbulan-bulan," kata Pierce, "Asalkan diberi cahaya selama 12 jam
sehari, mereka bisa bertahan (tanpa makan)."
Para peneliti
memakai pelacak radioaktif untuk memastikan bahwa siput-siput ini
benar-benar menghasilkan klorofil, dan bukan mencurinya dari pigmen yang
sudah pada alga. Nyatanya, siput-siput ini mengintegrasikan materi
genetika dengan sangat sempurna sehingga bisa diturunkan pada generasi
selanjutnya.
"Mungkin saja DNA dari satu spesies bisa masuk ke
spesies yang lain, seperti yang telah dibuktikan oleh siput jenis ini.
Tapi mekanismenya masih belum diketahui," ungkap Pierce.
Sumber:
www.kompas.com
http://biology.umaine.edu/symbio/3Slug/images/Elysia1.jpg
Jumat, 25 Desember 2009
Cyanobacteria
0Cyanobacteria/Cyanophyta atau alga hijau biru merupakan kelompok alga
prokariotik. Organisme tersebut memiliki peran sebagai produsen dan
penghasil senyawa nitrogen di perairan. Beberapa organisme tersebut
bersifat kosmopolit, tidak hanya ditemukan di habitat akuatik melainkan
juga ditemukan di habitat terestrial. Cyanobacteria ada yang hidup
sebagai plankton dan ada pula yang hidup sebagai bentos. Spesies-spesies
yang bersifat planktonik umumnya merupakan spesies-spesies yang
mengakibatkan terjadinya ledakan populasi (blooming) akibat eutrofikasi
(pengayaan nutrisi). Eutrofikasi biasanya disebabkan oleh proses alamiah
atau akibat pencemaran. Keadaan perairan yang kaya nutrisi tersebut
menyebabkan pertumbuhan Cyanobacteria yang sangat cepat. Cyanobacteria
juga diketahui diketahui mampu tumbuh di padang gurun, padang salju, dan
sumber air panas. Indonesia sebagai negara tropis yang beriklim hangat
sepanjang tahun diduga baik menjadi tempat tumbuh spesies-spesies
Cyanobacteria, sehingga memiliki beragam spesies Cyanobacteria.
Kemungkinan ada diantaranya merupakan spesies baru yang belum
dipertelakan. (Prihantini 2008).
Spesies-spesies
Cyanobacteria yang ditemukan tersebut dikelompokkan dalam dua ordo
berdasarkan ciri diagnostik morfologi, yaitu perbedaan bentuk tubuh.
Yang memiliki bentuk tubuh berupa koloni non-filamen dikelompokkan dalam
ordo Chroococcales, sedangkan yang memiliki bentuk tubuh berupa koloni
filamen (trikom) dikelompokkan dalam ordo Oscillatoriales (Prihantini
2008).
Data pH tersebut sesuai dengan pH perairan yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan optimum Cyanobacteria. Cyanobacteria umumnya hidup
pada perairan netral atau cenderung basa. Menurut Brock pada tahun 1973
in Prihantini 2008 bahwa kelompok Cyanobacteria umumnya tidak ditemukan
pada perairan dengan pH kurang dari 4.
Suhu perairan pada kelima
situ/danau terdapat dalam kisaran dari 25 sampai dengan 350 C yang
merupakan kisaran suhu yang baik bagi pertumbuhan optimal Cyanobacteria.
Suhu secara langsung berpengaruh dalam mengontrol laju berbagai proses
metabolisme dalam sel mikroalga. Laju proses metabolisme akan meningkat
seiring dengan kenaikan suhu. Laju optimum proses metabolisme tersebut
dapat dicapai pada kisaran suhu 25--40º C (Prihantini 2008).
Kecerahan
perairan adalah suatu kondisi yang menggambarkan kemampuan penetrasi
cahaya matahari untuk menembus lapisan air sampai kedalaman tertentu.
Arthington (1980) in Prihantini (2008) membagi kondisi perairan
berdasarkan kecerahan di perairan menjadi perairan keruh (0,25—1,00 m);
perairan sedikit keruh (1,00—5,00 m); dan perairan jernih (> 5 m).
Kekeruhan dapat disebabkan antara lain oleh kandungan unsur hara,
lumpur, dan kelimpahan fitoplankton yang tinggi.
Menurut
Sylvester 1958 in Prihantini 2008, organisme perairan dapat hidup layak
dengan nilai konduktivitas 150--500 μMhos/cm. Konduktivitas tergantung
dari konsentrasi ion dan suhu perairan. Selain itu, kenaikan padatan
terlarut akan mempengaruhi kenaikan konduktivitas.
Sumber:
Prihantini,
N.B dkk. 2008. Biodiversitas Cyanobacteria dari Beberapa Situ/Danau di
Kawasan Jakarta-Depok-Bogor, Indonesia. Jurnal. Volume 12, No. 1: 44-54
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia.
Sabtu, 19 Desember 2009
Anemon Laut yang Sudah Dibudidaya
0Anemon laut merupakan hewan dari kelas Anthozoa. Bentuk dari anemone
laut sekilas terlihat seperti tumbuhan, tapi jika diamati lebih jauh,
anemone laut merupakan jenis hewan. Beberapa anemon laut dapat bergerak.
Pergerakan anemone laut seperti siput, bergerak secara perlahan dengan
cara menempel. Sebagian besar anemon laut memiliki sel penyengat.
Berguna untuk melindungi dirinya dari predator. Di alam anemone laut
berfungsi sebagai tempat hidup dari ikan badut. Kedua organisme ini
melakukan simbiosis mutualisme.
Sekarang ini,
anemon laut sudah banyak yang dibudidayakan. Bentuknya yang cantik dan
aneh membuat para penikmat hewan laut terpukau. Beberapa anemon laut
yang sudah banyak dibudidayakan antara lain :
1. Anemon karang
Anemon karang atau
lebih dikenal dengan karang anemon. Bentuknya membulat atau lonjong
pada bagian dasarnya. Badannya dipenuhi puluhan jari-jari berwarna
cokelat tua. Di ujung jari-jari terdapat bintik hitam yang menyerupai
mata. Anemon ini menempel pada karang yang dibentuknya. Anemon karang
memakan plankton yang melayang-layang di dalam air. Jika mati, karang
ini membentuk karang yang keras.
2. Anemon Matahari
Anemon matahari berbentuk bulat, badannya dipenuhi jari-jari. Berbeda dengan anemon karang, jari-jari anemon matahari meruncing serta bewarna belang putih dan cokelat muda seperti belali mini. Jari-jari anemon matahari tidak halus seperti anemon karang, tetapi agak kasar atau berbintil-bintil. Anemon ini disebut anemon matahari karena apabila jari-jarinya menjulur seperti matahari yang sedang terbit. Anemon matahari memakan plankton dan tidak berbahaya bagi ikan dan manusia. Namun, jika mati anemon ini harus segera diangkat karena menimbulkan bau busuk.
3. Anemon pasir
Anemon pasir berbentuk piringan yang dipenuhi jari-jari, anemon pasir berwarna cokelat muda hingga cokelat gelap, jari-jarinya halus tidak berbintik dan diujungnya terdapat titik berwarna hitam. Anemon pasir juga menjadi tempat berkumpulnya ikan - ikan. Anemon ini memakan plankton dan tidak berbahaya bagi ikan ataupun manusia.
Kualitas Air Bagi Anemon Laut
Adapun kualitas air yang optimum untuk pemeliharaan anemon laut adalah: suhu air 24 - 29 0C, oksigen terlarut 2,4 - 6 mg/l, atau 4 - 7 mg/I, nitrit 0,551 - 0,552 mg/I atau 0,5 mg/I , Ammonia 0,01 - 0,021 mg/l atau 0,1 mg/l dan pH 7,2 - 8,3 atau 8 - 8,3. Syarat hidup anemon yang baik berada pada kisaran suhu 29-32 0C dan dengan kadar salinitas berkisar antara 31 - 33 ‰. Anemon akan optimum hidup pada perairan yang memiliki intensitas cahaya matahari yang hangat dan nutrient yang melimpah, seperti pada ekosistem terumbu karang dimana pada ekosistem tersebut memiliki asupan nutrient yang banyak dan intensitas cahaya matahari yang tinggi.
Pengaruh Cahaya terhadap Metabolisme Anemon Laut
Cahaya matahari merupakan faktor penting dalam metabolisme anemon karena cahaya matahari berperan penting dalam proses fotosintesis. Organisme yang bersimbiosis mutualisme dengan anemon laut yaitu zooxanthellae. Zooxanthellae merupakan faktor pengendali dalam kelimpahan dan metabolisme anemon laut artinya semakin kecil intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan maka proses fotosintesis akan berkurang atau menjadi terhambat, begitu pula dengan zooxanthellae akan semakin berkurang populasinya karena banyak yang mati akibat penetrasi cahaya matahari yang kurang sehingga organisme tersebut sulit untuk membuat makanannya sendiri atau berfotosintesis. Hal ini mengakibatkan kelimpahan dan metabolisme anemon akan terganggu.
sumber:
http://www.himiteka-ipb.org
Kamis, 17 Desember 2009
Interaksi Antar Fauna di Ekosistem Mangrove
0Fauna Mangrove
Fauna yang
terdapat di ekosistem mangrove merupakan perpaduan antara fauna
ekosistem terestrial, peralihan dan perairan. Fauna terestrial
kebanyakan hidup di pohon mangrove sedangkan fauna peralihan dan
perairan hidup di batang, akar mangrove dan kolom air. Beberapa fauna
yang umum dijumpai di ekosistem mangrove dijelaskan sebagai berikut:
Mamalia
Banyak mamalia
terdapat di hutan mangrove tetapi hanya sedikit yang hidup secara
permanen dan jumlahnya terbatas. Hutan mangrove merupakan habitat tempat
hidup beberapa mamalia yang sudah jarang ditemukan dan. Pada saat
terjadinya surut banyak monyet-monyet (Macacus irus) terlihat mencari
makanan seperti shell-fish dan kepiting sedangkan kera bermuka putih
(Cebus capucinus) memakan cockles di mangrove.
Indikasi
pemangsaan ini diperoleh dari sedikitnya jumlah cockles yang ditemukan
di lokasi mangrove yang memiliki banyak kera. Jika jumlah kera menjadi
sangat banyak akan mempengaruhi pembenihan mangrove karena komunitas ini
menginjak lokasi yang memiliki benih sehingga benih mati.
Nasalis larvatus
sumber:http://allhatnocattle.net/victo.jpg
Kera proboscis
(Nasalis larvatus) merupakan endemik di mangrove Borneo, yang mana ia
memakan daun-daunan Sonneratia caseolaris dan Nipa fruticans (FAO,1982)
juga propagul Rhizophora. Sebaliknya, kera-kera tersebut di mangsa oleh
buaya-buaya dan diburu oleh pemburu gelap. Hewan-hewan menyusui lainnya
termasuk Harimau Royal Bengal (Panthera tigris), macan tutul (Panthera
pardus) dan kijing bintik (Axis axis), babi–babi liar (Sus scrofa) dan
Kancil (Tragulus sp.) di rawa-rawa Nipa di sepanjang selatan dan
tenggara Asia ; binatang-binatang karnivora kecil seperti ikan-ikan
berkumis seperti kucing (Felix viverrima), musang (Vivvera sp. dan
Vivverricula sp.), luwak (Herpestes sp.).
Berang-berang (Aonyx
cinera dan Lutra sp.) umum terdapat di hutan mangrove namun jarang
terlihat. Sedangkan Lumba-lumba seperti lumba-lumba Gangetic (Platanista
gangetica) dan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) juga umum
ditemukan di sungai-sungai hutan mangrove, yaitu seperti Manatees
(Trichechus senegalensis dan Trichechus manatus latirostris) dan Dugong
(Dugong dugon), meskipun spesies-spesies ini pertumbuhannya jarang dan
pada beberapa tempat terancam mengalami kepunahan.
Reptil dan Ampibia
Beberapa
spesies reptilia yang pernah ditemukan di kawasan mangrove Indonesia
antara lain biawak (Varanus salvatoe), Ular belang (Boiga dendrophila),
dan Ular sanca (Phyton reticulates), serta berbagai spesies ular air
seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata
dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan
mangrove adalah Rana cancrivora dan Rana limnocharis.
Buaya-buaya
dan binatang alligator merupakan binatang-binatang reptil yang sebagian
besar mendiami daerah berair dan daerah muara. Dua spesies buaya
(Lagarto), Caiman crocodilus (Largarto cuajipal) dapat dijumpai umum
dijumpai di hutan mangrove, dan sebagai spesies yang berada dalam
keadaan waspada karena kulitnya diperdagangkan secara internasional.
Caiman acutus mempunyai wilayah geografi yang sangat luas dan dapat
ditemukan di Cuba, Pantai lautan Pasifik di Amerika Tengah, Florida dan
Venezuela. Jenis buaya Cuba, seperti Crocodilus rhombifer terdapat di
Cienaga de Lanier dan bersifat endemik. Aligator Amerika seperti
Alligator mississippiensis tercatat sebagai spesies yang membahayakan di
Florida ( Hamilton dan Snedaker, 1984).
Buaya yang memiliki
moncong panjang (Crocodilus cataphractus) terdapat di daerah hutan bakau
Afrika dan di Asia. Berbagai cara dilakukan untuk melindungi
hewan-hewan tersebut tergantung negara masing-masing misalnya di India,
Bangladesh, Papua New Guinea dan Australia mengadakan perlindungan
dengan cara konservasi, ( FAO, 1982). Sejumlah besar kadal, Iguana
iguana (iguana) dan Cetenosaura similis (garrobo) pada umumnya terdapat
di hutan mangrove di Amerika Latin, dimana mereka menjadi santapan
masyarakat setempat sebagaimana juga jenis kadal yang serumpun dengan
mereka di Afrika bagian barat (Varanus salvator). Pada umumnya penyu
merupakan sebagai mahkluk sungai yang meletakkan telur-telur mereka pada
pantai berpasir yang memiliki hutan mangrove. Selain hewan-hewan
tersebut ular juga dapat ditemukan di sekitar area mangrove, khususnya
pada dataran yang mengarah ke laut.
Burung
Pada saat terjadinya perubahan pasang surut
merupakan suatu masa yang ideal bagi berlindungnya burung (dunia
burung), dan merupakan waktu yang ideal bagi burung untuk melakukan
migrasi. Menurut Saenger et al. (1954), tercatat sejumlah jenis burung
yang hidup di hutan mangrove yang mencapai 150-250 jenis. Beberapa
penelitian tentang burung di Asia Tenggara telah dilakukan oleh Das dan
Siddiqi 1985 ; Erftemeijer, Balen dan Djuharsa, 1988; Howes,1986 dan
Silvius, Chan dan Shamsudin,1987.
Di Kuba, terdapat beberapa
spesies yang menempati tempat atau dataran tinggi seperti Canario del
manglar (Dendroica petechis gundlachi) dan tempat yang lebih rendah
seperti Oca del manglar (Rallus longirostris caribaeus). Burung yang
paling banyak adalah Bangau yang berkaki panjang. Dan yang termasuk
burung pemangsa adalah Elang laut (Haliaetus leucogaster), Burung
layang-layang (Haliastur indus), dan elang pemakan ikan (Ichthyphagus
ichthyaetus). Burung pekakak dan pemakan lebah adalah burung-burung
berwarna yang biasa muncul atau kelihatan di hutan mangrove.
Sumber Daya Perairan
Substrat
yang ada di ekosistem mangrove merupakan tempat yang sangat disukai oleh
biota yang hidupnya di dasar perairan atau bentos. Dan kehidupan
beberapa biota tersebut erat kaitannya dengan distribusi ekosistem
mangrove itu sendiri. Sebagai contoh adalah kepiting yang sangat mudah
untuk membuat liang pada substrat lunak yang ditemukan di ekosistem
mangrove. Beberapa sumberdaya perairan yang sering ditemukan di
ekosistem mangrove dijelaskan sebagai berikut :
a. Ikan
Ikan di daerah hutan
mangrove cukup beragam yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu :
•
Ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya dijalankan
di daerah hutan mangrove seperti ikan Gelodok (Periopthalmus sp).
•
Ikan penetap sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan hutan
mangrove selama periode anakan, tetapi pada saat dewasa cenderung
menggerombol di sepanjang pantai yang berdekatan dengan hutan mangrove,
seperti ikan belanak (Mugilidae), ikan Kuweh (Carangidae), dan ikan
Kapasan, Lontong (Gerreidae).
• Ikan pengunjung pada periode pasang,
yaitu ikan yang berkunjung ke hutan mangrove pada saat air pasang untuk
mencari makan, contohnya ikan Kekemek, Gelama, Krot (Scianidae), ikan
Barakuda, Alu-alu, Tancak (Sphyraenidae), dan ikan-ikan dari familia
Exocietidae serta Carangidae.
• Ikan pengunjung musiman. Ikan-ikan
yang termasuk dalam kelompok ini menggunakan hutan mangrove sebagai
tempat asuhan atau untuk memijah serta tempat perlindungan musiman dari
predator.
b. Crustacea dan
Moluska
Berbagai jenis fauna yang relatif kecil dan
tergolong dalam invertebrata, seperti udang dan kepiting (Krustasea),
gastropoda dan bivalva (Moluska), Cacing (Polikaeta) hidup di hutan
mangrove. Kebanyakan invertebrata ini hidup menempel pada akar-akar
mangrove, atau di lantai hutan mangrove. Sejumlah invertebrata tinggal
di dalam lubang-lubang di lantai hutan mangrove yang berlumpur. Melalui
cara ini mereka terlindung dari perubahan temperatur dan faktor
lingkungan lain akibat adanya pasang surut di daerah hutan mangrove.
Biota
yang paling banyak dijumpai di ekosistem mangrove adalah crustacea dan
moluska. Kepiting, Uca sp. dan berbagai spesies Sesarma umumnya dijumpai
di hutan Mangrove. Kepiting-kepiting dari famili Portunidae juga
merupakan biota yang umum dijumpai. Kepiting-kepiting yang dapat
dikonsumsi (Scylla serrata) termasuk produk mangrove yang bernilai
ekonomis dan menjadi sumber mata pencaharian penduduk sekitar hutan
mangrove. Udang yang paling terkenal termasuk udang raksasa air tawar
(Macrobrachium rosenbergii) dan udang laut (Penaeus indicus , Penaeus
merguiensis, Penaeus monodon, Metapenaeus brevicornis) seringkali juga
ditemukan di ekosistem mangrove. Semua spesies-spesies ini umumnya
mempunyai dasar-dasar sejarah hidup yang sama yaitu menetaskan telurnya
di ekosistem mangrove dan setelah mencapai dewasa melakukan migrasi ke
laut. Ekosistem mangrove juga merupakan tempat memelihara anak- anak
ikan.
Migrasi biota ini berbeda-beda tergantung spesiesnya. Udang
Penaeus dijumpai melimpah jumlahnya hingga kedalaman 50 meter sedangkan
Metapenaeus paling melimpah dalam kisaran kedalaman 11-30 meter dan
Parapenaeopsis terbatas hanya pada zona 5-20 meter. Penaeid bertelur
sepanjang tahun tetapi periode puncaknya adalah selama Mei – Juni dan
Oktober- Desember yang bertepatan dengan datangnya musim hujan atau
angin musim. Penaeus Merquiensis setelah post larva ditemukan pada bulan
November dan Desember dan setelah 3 - 4 bulan berada di mangrove
mencapai juvenile dan pada bulan Maret sampai Juni juvenil berpindah ke
air yang dangkal. Setelah mencapai dewasa atau lebih besar, udang akan
bergerak lebih jauh lagi keluar garis pantai untuk bertelur dengan
kedalaman melebihi 10 meter. Waktu untuk bertelur dimulai bulan Juni dan
berlanjut sampai akhir Januari.
Molusca yang memiliki nilai
ekonomis biasanya sudah jarang ditemukan di ekosistem mangrove karena
dieksploitasi secara besar-besaran. Contohnya adalah spesies Anadara sp
saat ini jarang ditemukan di beberapa lokasi ekosistem mangrove karena
dieksploitasikan secara berlebihan. Bivalva lain yang paling penting di
wilayah mangrove adalah kerang darah (Anadara granosa) dan gastropod
yang biasanya juga dijumpai terdiri dari Cerithidia obtusa, Telescopium
mauritsii dan Telescopium telescopium. Kerang-kerang ini merupakan
sumber daya yang penting dalam produksi perikanan, dan karena mangrove
mampu menyediakan substrat sebagai tempat berkembang biak yang sesuai,
dan sebagai penyedia pakan maka dapat mempengaruhi kondisi perairan
sehingga menjadi lebih baik. Kerang merupakan sumberdaya penting dalam
pasokan sumber protein dan sumber penghasilan ekonomi jangka panjang.
Untuk penduduk sekitar pantai menjadikan kerang sebagai salah satu jenis
yang penting dalam penangkapan di wilayah mangrove.
sumber
FAO.
Management and Utilization of mangroves in Asia Pasific. FAO
http://web.ipb.ac.id/~dedi_s/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Itemid=58
Shanty
2004. Fauna Mangrove dan Interaksi di Ekosistem Mangrove. Diunduh dari
http://shantybio.transdigit.com/?Biology_-_Ecology:
FAUNA_MANGROVE_DAN_INTERAKSI_DI_EKOSISTEM_MANGROVE [26 Agustus 2009]
Selasa, 15 Desember 2009
Ekosistem Lamun
0Ekosistem Lamun
Lamun
didefinisikan sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga yang mampu
beradaptasi secar penuh di perairan yang kadar salinitasnya tinggi atau
hidup terbenam dalam air dan memiliki rhizoma, daun, buah, dan akar
sejati. Karena pola hidupnya sering berupa hamparan maka dikenal dengan
istilah padang lamun yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu
daerah pesisir dan laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih
dengan kerapatan padat atau jarang. Sedangkan sistem ekologi padang
lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem
lamun. Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal berpasir dan
sering juga dijumpai di terumbu karang.
Lamun,sumber:www.statesymbolsusa.org
Habitat Padang Lamun
Padang
lamun di Indonesia terdiri dari 7 marga lamun. Dari 7 marga lamun
tersebut, tiga marga termasuk suku Hydrocaritaceae yaitu Enhalus,
Thallasia, dan Halophila. Dan empat marga termasuk suku Pomatogenaceae
yaitu Halodule, Cymodoceae, Syringodium, dan Thalassodendron (Nontji,
1993).
Menurut Den Hartog (1977), lamun tumbuhan akuatik berbunga
yang secara utuh beradaptasi pada lingkungan laut. Berlawanan dengan
tumbuhan lain yang hidup terendam di dalam laut, misalnya ganggang atau
alga laut. Lamun berbuah dan berbiji. Secara umum semua tipe dasar laut
dapat ditmbuhi lamun, namun padang lamun yang luas hanya dapat ditemui
pada dasar laut lumpur, berpasir lunak dan tebal. Padang lamun sering
terdapat di perairan laut di antara hutan rawa mangrove dan terumbu
karang (Dahuri et al, 1996).
Lamun dapat tumbuh di daerah
intertidal sampai kedalaman 50m hingga 60 m, namunmereka melimpah di
daerah sublitoral. Jumlah spesiesnya sendiri banyak ditemukan di daerah
tropis dibandingkan dengan daerah subtropis (Nybakken, 1992). Den Hartog
(1977)nmenyatakan bahwa tumbuhan ini mampu dapat tumbuh di laut karena
mampu tumbuh di daerah asin, mampu berfungsi normal dalam keadaan
terbenam, memiliki sistem perakaran yang berkembang baik, mampu
melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam, dan mampu bertahan
dalam kondisi lingkungan yang kurang stabil.
Penyebaran ekosistem
lamun di Indonesia mencakup perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya (Dahuri et al, 1996).
Menurut
Nybakken (1988), lamun memiliki berberapa sifat yang menjadikannya
mampu bertahan hidup di laut antara lain karena lokasi dimana lamun
dapat tumbuh adalah di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur
atau pasir, pada batas terendah daerah pasut dekat hutan bakau atau
daerah terumbu karang, lamun mampu hidup sampai kedalaman 30 m di
perairan tenang dan terlindung, sangat tergantung pada cahaya matahari
yang masuk ke perairan, mampu melakukan proses metabolisme termasuk daur
generatif secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terendam air, mampu
hidup di media asin dan memiliki sistem perakaran yang berkembang baik.
Zonasi Sebaran Lamun
Zonasi
sebaran lamun mulai dari pantai ke arah tubir umumnya berkesinambungan,
perbedaan yang terdapat biasanya hanya pada komposisi jenisnya (Dahuri
et al, 1996). Zonasi sebaran dan karakteristik habitat lamun di perairan
pesisir Indonesia dapat dikelompokkan menurut (Dahuri et al, 1996):
1. Genangan Air dan Kedalaman
Pengelompokkan
lamun menurut genangan air dan kedalamannya dapat dibagi menjadi 3
yaitu:
• Jenis lamun yang tumbuh didaerah dangkal dan selalu
terbuka saat air surut. Jenis lamun yang tumbuh adalah Halophila minor, Halophila ovalis, Thalassia
hempichii, dan Enhalus accoroides.
• Jenis lamun yang
tumbuh di daerah kedalaman sedang atau di daerah pasang surut. Jenis
lamun yang dapat dijumpai adalah Cymodocea
rotundata, Cymodocea serrulatta, Thalassodendron ciliatum, dan Syringodium isoettifolium.
• Jenis lamun yang
tumbuh di tempat yang dalam dan selalu tergenang air. Jenis lamun yang
dapat tumbuh adalah Halophila decipiens, Halophila spinulosa, dan Thalassodendron ciliatum.
2. Kecerahan
Dibedakan
menjadi lamun yang tumbuh di air yang jernih dan air yang keruh. Lamun
di daerah Flores tumbuh di perairan jernih, lmun di Teluk Jakarta dan
Selat Sunda tumbuh pada perairan yang keruh, dan lamun di Teluk Banten
tumbuh pada perairan yang sangat keruh.
3. Komposisi Jenis
Dibedakan menjadi vegaetasi
tunggal dan campuran. Contoh komunitas lamun tunggal adalah Enhalus
accoroides, Halodule unineruis, Halophila ovalis, dan Thalassia
hemprichii.
4. Tipe
Substrat
Berdasarkan tipe substratnya, lamun di perairan
Indonesia dapat tumbuh pada substrat dengan kategori lumpur, lumpur
berpasir, pasir berlumpur, puing karang dan batu karang.
Luas
padang lamun yang ada di Indonesia mencapai 30.000 Km2, sebaran padang
lamun yang cukup luas hampir dapat ditemukan di tiap provinsi. Padang
lamun sering berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang dan hutan
mangrove dan ketiga ekosistem ini berada pada perairan dangkal. Ketiga
ekosistem tersebut membentang hampir di sepanjang pantai pulau-pulau
Indonesia, kecuali pada daerah yang arus dan ombaknya sangat kuat serta
pantai yang curam seperti Pantai Selatan Pulau Jawa.
Setelah
mengetahui zonasi-zonasi lamun, maka hal penting yang patut dicermati
dalam menentukan zonasi lamun adalah faktor-faktor lingkungn yang
mempengaruhi ekosistem lamun, yaitu:
1. Suhu
Suhu
merupakan faktor yang paling penting bagi kehidupan organisme di lautan
karena mempengaruhi aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan
organisme tertentu (Hutabarat dan Evans, 1986). Kisaran suhu optimal
bagi spesies lamun untuk perkembangan adalah 28° - 30° C, sedangkan
untuk fotosintesis lamun membutuhkan suhu optimum antara 25° - 35° C dan
pada saat cahaya penuh. Pengaruh suhu bagi lamun sangat besar, suhu
mempengaruhi proses fisiologi seperti fotosintesis, laju respirasi,
pertumbuhan dan reproduksi (Nybakken, 1988).
2. Arus
Kecepatan
arus pada perairan sangat berpengeruh pada produktivitas padang lamun.
Lamun dapat berproduktivitas optimal pada kecepatan arus 0,5 m/s. Arus
tidak mempengaruhi penetrasi cahaya kecuali jika mengangkat sedimen
hingga mengurangi penetrasi cahaya. Aksi menguntungkan arus terhadap
organisme terlatak pada transport bahan makanan tambahan bagi organisme
dan dalam hal pengangkutan bahan buangan (Dahuri et al, 1996).
3. Salinitas
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi beberapa faktor
seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai
(Nontji, 1993). Spesies padang lamun memiliki toleransi yang
berbeda-beda, namun sebagian besar memilki kisaran yang lebar yaitu 10
0/00 – 40 0/00. nilai optimum toleransi lamun terhadap salinitas air
laut berkisar pada 35 0/00 (Dahuri et al, 1996).
4. Kecerahan
Pada
perairan alami kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan
proses fotosintesis. Kebutuhan cahaya yang tinggi bagi lamun untuk
fotosintesis terlihat dari sebarannya yang terbatas pada daerah yang
masih menerima cahaya matahati. Nilai kecerahan perairan sangat
dipengaruhi oleh kandungan lumpur, plankton, dan zat terlarut lainnya
(Nybakken, 1988).
5. Substrat
Distribusi organisme di laut
bergantung pada tipe substrat yang berbeda-beda. Tipe substrat
bergantung pada karakteristik dasar dasar suatu perairan. Odum (1971)
mengemukakan bahwa karakteristik dasar perairan mempengaruhi kehidupan
di lingkungan perairan. Tipe substrat juga mempengaruhi distribusi
horizontal. Sedangkan distribusi vertikal dipengaruhi oleh keadaan dan
ukuran granula, luasan daerah dari jenis substrat tertentu, jenis dan
bentuk bahan organik yang berasosiasi dengan substrat dan faktor-faktor
lingkungan.
6. Oksigen Terlarut
Kelarutan oksigen penting
artinya karena sangat mempengaruhi keseimbangan komunitas dan kehidupan
organisme di perairan. Selain itu juga mempengaruhi keanekaragaman
organisme dalam ekosistem perairan tertentu (Effendi, 2000)
sumber:
Dahuri,
R., J. Rais., S.P. Ginting., M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir
dan Lautan. Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita.
Effendi, H. 2003.
Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 258 p.
Nontji, A. 1984. Laut
Nusantara. Jembatan. Jakarta.
Nybakken, j. 1988. Biologi Laut :
Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia
Jakarta.
Odum, E.P. 1971.
Fundamental of Ecology. 3rd edition. W.B Saunders Company.
Philadelphia.
Ekosistem Mangrove
01. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar daerahnya
adalah berupa laut. Letak strategis Indonesia menjadikan negara ini
memiliki kekayaan sumber daya hayati laut yang sangat besar. Namun
sampai saat ini kekayaan hayati yang dimiliki masih belum dimanfaatkan
secara optimal. Dibutuhkan suatu pengetahuan mendasar tentang ilmu yang
mempelajari tentang aspek-aspek kelautan baik secara fisik, biologi,
maupun kimia.
Informasi biologi dalam bidang kelautan sangat penting untuk
mengolah sumber daya hayati laut secara optimal karena masih banyak dan
besarnya potensi sumberdaya laut yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Salah satu informasi biologi laut tersebut adalah mengenai gambaran
tentang kehidupan biota laut .
Pemanfaatan biota laut yang makin hari makin meningkat dibarengi
oleh kemajuan pengetahuan tentang kehidupan biologi yang tertampung
dalam ilmu pengetahuan alam laut yang dinamakan biologi laut (marine
biology). Sedangkan ilmu yang mempelajari hubungan antara biota laut dan
lingkungannya dan antara mereka sendiri dinamakan ekologi (ecology).
Biota yang ada di laut diantaranya terumbu karang, lamun, dan mangrove
yang termasuk perpaduan antara laut dan daratan kata lain perairan
payau.
Ekosistem Mangrove.
Hutan Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai ropis dan sub
tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan
ini sering pula disebut sebagai hutan pasang karena dipengaruhi oleh
pasang surut (Nybakken, 1992).
2.1. Karakteristik Habitat hutan
Mangrove
Umumnya mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya
berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut
secara berkala. Frekuensi genangan menentukan komposisi hutan mangrove.
Hutan mangrove menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat,
terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air
bersalinitas payau (2-22 per mill) hingga asin (mencapai 38 per mil).
Tanah mangrove terdiri dari butiran-butiran kecil. Butiran-butiran
lebih kecil daripada pasir halus (<0,25 style="font-weight:
bold;">2.2. Struktur Vegetasi dan Daur Hidup Hutan Mangrove
Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12
genera tumbuhan berbunga yang termasuk ke dalam 8 famili (Avicennia,
Sonneratia, Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Xilocarpus, Lumnitzera,
Laguncularia, Aegiceras, Aegialitis, Snaeda, dan Conocarpus).
Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki kenekaragaman jenis
yang tinggi, dengan jumlaj jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang
terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis
epifit, 1 jenis sikas.
Membanjirnya air pasang surut menggenangi substrat dan mempersulit
tanaman biasa hidup disini. Tetapi vegetasi mangrove memiliki adaptasi
khusus untuk hidup didaerah bersalinitas tinggi. Beberapa bakau
memiliki kelenjar garam yang menolong menjaga keseimbangan osmotik
dengan mengeluarkan garam. Bakau tertentu (Bruguiera dan Rhizipora)
mampu menumbuhkan kecambah selagi menempel pada induk tanpa masa
istirahat. Setelah lepas dari induk maka kecambah yang menemukan
substrat yang tepat bisa langsung tumbuh.
Tumbuh-tumbuhan mangrove yang khas kebanyakan beradaptasi. Beberapa
jenis seperti Avicennia hidup di habitat yang lebih asin sedangkan Nypa
fruticans terdapat pada habitat yang berair lebih tawar. Lebih jauh dari
vegetasi khas mangrove, terdapat tumbuh-tumbuhan yang hidup di habitat
tak asin dan mereka dikenal sebagai sekutu mangrove (mangrove
associates), yakni tumbuh-tumbuhan bukan mangrove, tetapi berasosiasi
dengan mangrove (Dahuri, 2003).
2.3.Zonasi dan Klasifikasi Hutan
Mangrove
Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir,
sering ditumbuhi oleh Avicinnea sp. Pada zona ini biasa berasosiasi
Sonneratia sp yang tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya ddominasi oleh Rhizopora
spp, zona ini juga dijumpai Bruguiera spp dan Xilocarpus spp. Zona
berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Zona transisi antara hutan
mangrove dengan hutan daratan rendah biasa ditumbuhi oleh Nypafruticans,
dan beberapa jenis spesies palem lainnya (Nybakken, 1992).
Dahuri (2003), mengklasifikasikan hutan mangrove Indonesia menjadi 4
kelas, yaitu 1) delta, terbentuk di muara sungai yang berkisaran pasang
surut rendah, 2) dataran lumpur, terletak di pinggiran pantai, 3)
dataran pulau, berbentuk sebuah pulau kecil yang pada waktu surut rendah
muncul di atas permukaan air dan, 4) dataran pantai, habitat mangrove
yang merupakan jalur sempit memanjang sejajar garis pantai.
2.4. Fungsi dan Manfaat Hutan
Mangrove
Fungsi mangrove dapat dikategorikan kedalam tiga macam fungsi, yaitu
fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis) dan fungsi ekonomis. Fungsi
fisik diantaranya yaitu menjaga garis pantai dan tebing sungai dari
erosi/abrasi agar tetap stabil; mempercepat perluasan lahan;
mengendalikan intrusi air laut; melindungi daerah di belakang mangrove
dari hempasan gelombang dan angin kencang; dan mengolah limbah organik.
Fungsi biologis/ekologis diantaranya yaitu tempat mencari makan (feeding
ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak
(nursery ground) berbagai jenis ikan, kerang dan biota laut lainnya;
tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung; dan sumber
plasma nutfah. Fungsi ekonomis diantaranya yaitu hasil hutan berupa
kayu; hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman dan
makanan, tanin, dan lain-lain; lahan untuk kegiatan produksi pangan dan
tujuan lain (pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur,
transportasi, rekreasi dan lain-lain).
Selain itu mangrove memiliki fungsi penting lain seperti peredam
gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan Lumpur dan
penahan sediment. Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan pohon
mangrove Daerah asuhan, daerah mencari makanan, dan darah pemijahan
berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya. Pengahasil kayu dan
bahan konstruksi kayu baker, dll. Pemasok larva ikan, udang dan biota
laut lainnya dan tempat pariwisata (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
2.5. Biota Mangrove
Hewan-hewan yang hidup di ekosistem mangrove berasal dari darat,
laut dan air tawar. Beberapa dari sifat adaptasinya berkaitan dengan
substrat berlumpur. Ikan mangrove yang khas, yakni ikan gelodog
(Periopthalmus spp.) telah mengembangkan sirip untuk meluncur di
permukaan lumpur dan air. Matanya dapat digunakan untuk melihat di atas
dan di dalam air. Kulitnya digunakan untuk pernapasan tambahan. Kepiting
darat yang hidup di sini beradaptasi untuk hidup di darat untuk saat
yang lama. Selama di darat, ruang insang yang melindungi insang dijaga
sehingga tetap basah agar tetap dapat bernapas. Setiap peiode tertentu
ia masuk ke air untuk membasahi ruang insang tadi (Dahuri, 2003).
sumber:
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. PT. Gramedia Pustaka
utama. Jakarta.
Nybakken. J.W. 1986. Biologi Laut : suatu Pendekatan Ekologi.
[Penerjemah : M.Eidman ; Koesoebiono ; Dietrich ; Hutomo ; dan
Sukardjo].PT. gramedia. Jakarta.
Romimohtarto,K dan Sri Juwana. 2001. Biologi laut : Ilmu Pengetahuan
Tentang Biota Laut. Jakarta : Djambatan
Senin, 14 Desember 2009
Penyebaran Larva Karang
01.1. Latar Belakang
Terumbu
karang adalah salah satu ekosistem yang penting di laut. Untuk
ekosistem terumbu karang World Resource Institute (WRI) (2002)
mengestimasi bahwa luas terumbu karang di Indonesia adalah sekitar
51.000 km2. Angka ini belum mencakup terumbu karang di wilayah terpencil
yang belum dipetakan atau yang berada di perairan agak dalam (inland
waters).Jika estimasi ini akurat maka 51% terumbu karang di Asia
Tenggara atau 18% terumbu karang di dunia berada di perairan
Indonesia.Sebagian besar dari terumbu karang ini bertipe terumbu karang
tepi ( fringing reefs) yang berdekatan dengan garis pantai sehingga
mudah diakses oleh masyarakat sekitar.Lebih dari 480 jenis karang
batu(hard coral) telah didata di wilayah timurIndonesia dan merupakan
60% dari jeniskarang batu di dunia yang telah berhasil
dideskripsikan.Keanekaragaman tertinggi ikan karang di dunia juga
ditemukan di Indonesia dengan lebih dari 1.650 jenis hanya untuk wilayah
Indonesia bagian timur.
Sebagai salah satu
ekosistem utama pesisir dan laut, terumbu karang dengan beragam biota
asosiatif dan keindahan yangmempesona, memiliki nilai ekologis dan
ekonomis yang tinggi.Selain berperan sebagai pelindung pantai dari
hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga mempunyai nilai
ekologis antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat
asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut.
Nilai ekonomis terumbu karangyang menonjol adalah sebagai tempat
penangkapan berbagai jenis biota lautkonsumsi dan berbagai jenis ikan
hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi dan sebagai
daerah wisata serta rekreasi yang menarik.
Distribusi dari larva
karang sangat penting untuk diamati karena berperan besar dalam
penyebaran terumbu karang dan kelangsungan hidup karang tersebut. Dalam
makalah ini dibahas pola distribusi karang, metode pendistribusian, dan
hambatan yang dihadapi.
2.1.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Distribusi karang sangat
dipengaruhi faktor-faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi penyebaran
larva karang. Faktor-faktor tersebut ada yang berpengaruh positif dan
berpengaruh negatif.
Faktor lingkungan yang berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan larva karang antara lain adalah: arus, sinar
matahari, suhu perairan, kejernihan air dan dasar laut keras.Arus
berperan sangat penting bagi kehidupan karang. Arus tidak hanya membantu
penyebaran larva karang, oksigen dan makanan, melainkan juga
menyebarkan air hangat yang sangat diperlukan untuk pengembangan alat
reproduksi dan pembuatan kerangka dari kapur bagi karang batu (Wood,
1983). Perairan yang jernih dan sinar matahari erat kaitannya dengan
proses fotosintesis zooxanthella yang membantu karang batu dalam
pembentukan kerangka dari kapur. Sedangakan dasar keras diperlukan bagi
penempelan larva karang batu yang siap membentuk koloninya.
Faktor
lingkungan yang berpengaruh negatif atau menghambat bahkan merusak
kehidupan larva karang antara lain adalah: bencana alam seperti taupan,
gempa, tsunami dan Elnino; faktor antropogenik (yang berasal dari ulah
manusia) termasuk sedimentasi, pencemaran laut oleh limbah (domestik
dan indistri), akibat kegiatan manusia secara langsung seperti
penggunaan bom dan obat beracun untuk menangkap ikan di terumbu karang,
penambangan karang dan pemasangan bubu di terumbu karang; faktor
biologi seperti adanya predator pemakan polip karang, (Acanthaster
planci, Drupella), pathogenic desase (Hughes et al, 1985) dan yang tidak
kalah pentingnya dalam masalah pertumbuhan karang ini adalah adanya
kompetisi ruang diantara biota bentos di terumbu karang (O.Naim et al,
2000) dan Over fishing (L.L.Cho et al, 2000).Overfishing menyebabkan
berkurangnya jenis ikan herbivor yang dapat menimbulkan ledakan populasi
makroalgae.
Pengaruh langsung dari sedimentasi terhadap larva karang
batu dapat berupa kematian karena terbenam, pengurangan kecepatan
tumbuh karena geseran partikel endapan, menghambat proses fotosintesis
zooxanthella, berkurangnya kelimpahan dan keanekaragaman jenis,
berkurangnya persen tutupan karang hidup dan mengurangi kecepatan
pemulihan terumbu karang (Cooper et al, 2000), sedangkan banyaknya
nutrisi yang secara terus menerus masuk ke dalam ekosistem terumbu
karang dapat menyebakan meningkatnya populasi makroalgae dan
phytoplankton dan berkurangnya populasi karang batu (Hunter and Evans,
1995). Endapan juga dapat menghalangi proses penempelan larva karang
(coral recruitment) (Babcock et al, 2000).
2.2. Distribusi Larva
Beberapa
jenis karang fertilisasi antara gamet jantan dan gamet betina dapat
terjadi di luar dan di dalam tubuh induk. Larva karang yang dilepaskan
dapat bertahan dalam beberapa jam hingga bulan, karena mempunyai
tetes-tetes lemak yang dapaat dipakai sebagai cadangan makanan. Larva
yang terbetuk akan berenang-renang sebelum menempel pada substrat
tertentu.
Larva bergerak mengapung pada daerah pelagik dan
digerakkan oleh arus selama beberapa jam, hari, ataupun beberapa bulan.
Larva karang dapat bergerak sampai jarak 1 – 1000 km. Jarak dan pola
distribusi larva dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempengaruhi lama
waktu larva mengapung sampai mencapai terumbu, yaitu:
1. Perilaku
larva: kecepatan renang dan kemampuan directional.
2. Jangka waktu
Larva: sejumlah larva menghabiskan waktu di lautan terbuka tergantung
pada spesies larvanya. Antara beberapa jam sampai beberapa bulan dan
jangka waktu larva pelagic secara umumnya adalah 28 – 35 hari.
3.
Sumber makanan: sejumlah makanan tersedia selama jangka waktu pelagik.
4.
Pemangsa: pemangsa mempengaruhi survival saat masa pelagik, kondisi
larva, dan laju pertumbuhan.
5. Pengaruh faktor oseanografi lainnya.
Larva
planula akan dapat melanjutkan ke tahap penempelan pada dasar perairan
bila kondisi substrat mendukung seperti: cukup kokoh tidak ditumbuhi
alga, arus cukup untuk adanya makanan , penetrasi cahaya cukup agar
zooxanthella bisa tumbuh, dan sedimentasi rendah.
Banyak faktor
yang mempengaruhi penyebaran karang di dunia, salah satu faktornya
adalah ketahanan hidup dari fase larva karang sehingga mempengaruhi
penyebaran yang jauh dan terdapat larva yang hanya bertahan dalam
hitungan jam dan menyebar berkembang di dekat induknya.
2.3. Waktu Distribusi
Reproduksi
seksual karang karang menghasilkan larva planula yang berenang bebas dan
bila larva itu menetap di dasar maka akan berkembang menjadi koloni
baru. Karang mencapai dewasa seksual pada usia antara 7-10 tahun. Karang
dapat bersifat hermafrodit atau dioecius. Pembuahan umumnya terjadi di
dalam gastrovaskuler induk betina, sperma dilepaskan ke dalam air dan
akan masuk di dalam ruang gastrovaskuler. Telur-telur yang dibuahi
biasanya ditahan sampai perkembangannya mencapai stadium larva planula.
Planula dilepaskan dan berenang dalam perairan terbuka untuk waktu yang
tidak dapat ditentukan, tetapi mungkin hanya beberapa hari, sebelum
menetap dan memulai suatu koloni baru. Bila larva dewasa akan menetap di
suatu tempat, larva planula merupakan alat penyebar dari berbagai
spesies karang.
Waktu spawning karang menjadi penting karena
berkaitan erat dengan kelangsungan kehidupan suatu jenis karang.
Kesesuaian waktu spawning dengan kondisi arus samudra saat itu akan
menentukan penyebaran larva karang dan distribusi karang. Penentuan
waktu spawning suatu jenis karang sangat dipengaruhi oleh proses
perkembangan gonad karang pada setiap jenis karang. Perkembangan gonad
karang di beberapa wilayah subtropics berlangsung pada kondisi perairan
yang hangat, dari musim semi hingga musim panas (Richmond dan Hunter,
1990), sehingga diperkirakan spawning karang di wilayah tropis
berlangsung sepanjang tahun. Namun hasil pengamatan di beberapa wilayah
menunjukkan bahwa spawning time bervariasi antar wilayah yang berbeda
letak lintangnya. Bahkan saat pemijahan karang berbentuk koloni memiliki
perbedaan waktu baik antar-populasi, antar-koloni maupun antar
bagian/cabang dalam satu koloni.
Spawning karang di Great Barrier
Reef-Australia terjadi pada musim semi, sedangkan komunitas karang di
Pasifik Tengah, Okinawa dan Laut Merah melakukan spawning pada waktu
musim panas (Richmond dan Hunter, 2000). Perbedaan waktu spawning dapat
terjadi antar jenis dan lokasi. Sebagaimana hasil studi Edinger et al.
(1996) yang melaporkan kejadian spawning karang massal di Kepulauan
Karimunjawa, Jawa Tengah pada Oktober-Nopember 1995 yang terjadi setelah
bulan purnama. Diantara jenis-jenis dari genus Acropora yang memijah
adalah Acropora spp, Acropora humilis, A. hyacinthus, A. verwey dan A.
echinata. Kejadian ini menegaskan bahwa informasi waktu spawning karang
Acropora bersifat tahunan dan berbeda waktunya antara wilayah satu
dengan lainnya.
Karang Acropora aspera di Pulau Panjang, Jawa Tengah
memperlihatkan musim reproduksi yang berbeda dibanding Acropora di Kep.
Karimunjawa. Munasik dan Azhari (2002) menemukan polip karang yang
mengandung telur matang berwarna orange di bulan Maret-April.
Diperkirakan spawning karang tersebut terjadi pada bulan April.
Pengamatan spawning karang di lapangan pada bulan purnama telah
dilakukan tetapi tidak mendapatkan hasil. Untuk itu studi tingkah laku
spawning karang A. aspera dilakukan di akuarium serta diamati pula
perkembangan embrio.
2.4. Metode
Penyebaran
Untuk mengetahui cara menyebar dari larva karang,
sebelum itu harus diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian dari
larva karang. Larva karang adalah larva planula hasil pembentukan secara
seksual dari koloni karang, baik itu pembuahan secara internal maupun
secara eksternal (Timotius, S. in Biologi Terumbu Karang). Setelah
mengenal sedikit tentang larva karang, larva karang memiliki sifat-sifat
bawaan sesuai dengan induknya masing-masing antara lain adalah
kecepatan renang dan kemampuan menuju ke arah tertentu sesuai dari jenis
spesies masing-masing (anonima, 2009).
Dari sifat larva yang
diketahui, sehingga dapat diketahui bahwa larva pada jenis karang
tertentu akan menempel pada tipe karakteristik perairan tertentu. Misal
pada larva yang akan menjadi terumbu karang bertipe massive akan memilih
perairan yang memiliki sedimentasi rendah, berbeda dengan terumbu
karang yang memiliki brenching lifeform yang dapat hidup di daerah
dengan sedimentasi yang cukup tinggi dan umumnya menempel pada substrat
yang berbentuk wall ( Dunno, 1982 in Babcock, R. , 2000).
2.5. Manfaat
Karang memiliki
kemampuan reproduksi secra seksual maupun secara aseksual. Reproduksi
seksual adalah reproduksi yang melibatkan peleburan sperma dan ovum
(fertilisasi). Sifat reproduksi ini lebih komplek karena selain terjadi
fertilisasi, juga melalui sejumlah tahap lanjutan (pembentukan larva,
penempelan baru kemudian pertumbuhan dan pematangan). Perseberan larva
yang terbentuk ini akan memberikan dampak terhadap lingkungan,
diantaranya adalah jika terdapat daerah terumbu karang yang baru
mengalami kerusakan maka akan dapat terkolonisasi dengan cepat jika
karang yang bertahan di sekitarnya sering bereproduksi dengan
menghasilkan larva yang melekat di sekitar koloni induk (Szmant 1986,
Sammarco & Andrews 1988). Selain itu daerah perseberan larva bisa
sangat jauh (puluhan atau ratusan meter dari induk) maka persebaran
spesies akan semakin merata dan mencapai daerah tertentu sehingga
kepunahan dari spesies karang tersebut dapat berkurang. Selain itu larva
karang juga dimanfaatkan oleh biota lain sebagai sumber makanan.
sumber:
Anonima.
2009. Larval Dispersal. http://www.reefresilience.org/Toolkit
Coral/C5c3 _LarvalDisp.html.(Diunduh tanggal 13 Desember 2009)
Babcock,
R. dan L. Smith. 2000. Effect of Sedimentation on Coral Settlement and
Survivorship. Prosiding 9th International Coral Reef Symposium. Bali:
Indonesia
Cho,L.L. and J.D.Woodley (2000)..Recovery of reefs at
Discovery Bay, Jamaica and the role of Diadema antillarum.Proc. 9th
International Coral Reef Symposium,Bali, Indonesia 23-27 2000,Vol
1:331-337.
Cooper TF,M.P. Lincoln Smith, J.D.Bell and K.A. Pitt
(2000). Assessing the effects of logging on coral reefs in Solomon
Island. Proc 9th Intern Coral Reef Symp,Bali,Indonesia 23-27 Oct 2000
Vol 2: 1199-1204.
Hunter CL and Evans CW(1995).Coral Reef in Kaneobe
Bay,Wawaii: Two centuries of western influence and two decades of
data.Bull Mar Sci 57:501-515.
Naim,O., P.Chaban,T.Done,C.Tourrand and
Y.Letourneur ( 2000). Regeneration of reef flat ten years after the
impact of the cyclone Firinga (Reunion SW Indian ocean).Proc.9th Coral
Reef Symp.Bali,Indonesia 23-27 Oct 2000,Vol 1:54
Sammarco PW, Andrews
JC. 1988. Localized dispersal and recruitment in Great Barrier Reef
corals: the helix experiment. Science 239:1.422-1.424.
Szmant AM.
1986. Reproductive ecology of Caribbean reef corals. Coral Reefs
5:43-54.
Timotius, Silvianita.____. Biologi Terumbu Karang.
http://www.terangi.or.id/ publications/pdf/biologikarang.pdf.(Diunduh
tanggal 13 Desember 2009)
Wood,E.M 1983. Corals of the world,Biology
and Field guide.255pp.
WRI. 2002. Earthtrends.
http://earthtrends.wri.org. Diunduh tanggal 14 Desember 2009
Beberapa Coelenterata yang Berbahaya
Filum coelenterata adalah hewan tingkat rendah yang memiliki
nematokist sebagai mekanisme perlindungan diri. Nematokist merupakan sel
penyengat yang mengandung racun dan bila terkena dapat menimbulkan
sakit hingga kematian. Agar nematokist tidak melukai tubuh coelenterata
tersebut, biasanya di bagian tubuh coelenterata menghasilkan lendir yang
berfungsi sebagai pelapis tubuh dari sengatan nematokistnya. Lendir
inilah yang digunakan clown fish atau lebih dikenal ikan badut atau ikan
nemo untuk dapat hidup di anemon.
Berikut
adalah jenis-jenis coelenterata yang memiliki bisa atau racun dalam
kadar yang tinggi:
• Kelas
Hidrozoa
Hewan ini berbentuk polip (melekat) dan berkoloni
atau berbentuk medusa yang dapat berenang bebas dan soliter. Contoh
jenis yang hidup melekat adalah karang api (Milliapora sp.). Hewan ini
memiliki kerangka kapur yang keras dan berpori. Bila ditinjau dari
ukurannya, ada dua jenis pori yaitu gastropore yang mengandung polip dan
lubangnya besar dan dactylopore yang memiliki 5-7 pori-pori kecil yang
mengelilingi gastropore. Didalamnya mengandung sel penyengat. Di alam,
warna koloni putih kekuning-kuningan dengan bentuk bercabang-cabang.
Umumnya ditemukan pada kedalaman 1-5 m.
sumber:www.ultimatereef.net
Jenis hydrozoa yang berenang bebas dan
sudah jarang ditemukan adalah kapal perang portugis (Physalia physalis).
Jenis ini hanya ditemukan pada musim timur. Bentuk kapal perang
portugis yang mengapung (pneumatophore) seperti jengger ayam, warnanya
biru tua dengan bagian runcing di ujungnya dan memiliki ukuran 3-12 cm.
Sedangkan yang menggantung bentuknya seperti anggur yang mengandung sel
penyengat dengan tentakel yang panjang.
sumber:www.geoffschultz.org
• Kelas Scyphozoa
Kelas ini memiliki
ukuran tubuh paling besar dengan bentuk dewasa berupa medusa yang
berenang bebas, sedangkan stadium larvanya melekat di dasar perairan.
Contohnya adalah ubur-ubur. Bentuk tubuh ubur-ubur paling atas seperti
payung dengan lengan-lengan panjang yang menggatung. Tentakel terletak
di sepanjang tepi payung.
Ubur-ubur ditemukan di perairan dangkal.
Bila intensitas cahaya terlalu rendah atau terlalu tinggi, ubur-ubur
akan mencari perairan yang lebih dalam untuk berlindung. Ubur-ubur akan
kembali ke perairan dangkal saat pasang, ombak besar, dan intensitas
cahaya sedang (pagi dan sore).
sumber:www.dunialaut.com
• Kelas Anthozoa
Hewan-hewan yang
masuk ke dalam kelas anthozoa adalah karang batu, karang luak, dan
anemon laut. Perbedaan anemon dengan karang dapat dilihat dari ukuran
polipnya. Ukuran polip anemon lebih besar dibanding karang batu dan
karang lunak. Selain itu, karang hidup secara berkoloni, sedangkan
anemon hidup soliter. Tentakel anemon terdapat pada mulut dan dinding
tubuhnya.Beberapa anemon mengandung bisa yang beracun yang terkonsentrer
pada tentakel. Sengat atau bisa penyengat dari anemon ini mengandung
dua jenis protein aktif dan yang lemah, salah satu dari protein ini
(yang aktif) tampaknya dapat menghalangi penyaluran ion-ion pada sel-sel
saraf mangsanya, sehingga menghentikan sinyal saraf. Kedua protein ini
secara bersama-sama berfungsi sinergis dan menyerang daerah sel-sel
darah me rah sedemikian rupa dan raksinya seperti pada bisa lebah dan
ular (Hadi, 1992).
Anemon tersebar di perairan tropis pada perairan
dangkal, terutama terumbu karang. Semua jenis anemon dapat menyerang
mangsanya dengan mengeluarkan se penyengat.
sumber:upload.wikimedia.org
sumber:
Hadi,
Nurachmad dan Sumadiyo. 1992. Anemon Laut (Coelenterata, Actinaria),
Manfaat dan Bahayanya. www.oseanografi.lipi.go.id
Manuputty,Anna E.W, Soekarno, dan M.I. Yosephine Tuti H.
1989. Beberapa Jenis Coelenterata yang Dapat Menghasilkan Toksin,
Pengaruhnya Terhadap Manusia, serta Ciri-Ciri Biologinya. Seminar
Naional Obat dan Pangan - Kesehatan dari Laut. Fakultas MIPA-UI dan PSIK
IPB.
Segitiga Masalembo – The Indonesian “Bermuda Triangle”
Dua kecelakaan lalulintas pada awal
tahun ini sangat memperihatinkan. Yang pertamana kecelakaan lalulintas
laut yang menimpa kapal laut Senopati Nusantara, yang kedua kecelakaan
Pesawat Adam Air. Keduanya diduga terjadi pada waktu yang berdekatan di
kawasan yang sama berdekatan juga di laut Utara Jawa,
dan yang satu di seputar Masalembo.
Duapuluh enam tahun yang lalu KM Tampomas II terbakar di laut dan karam pada tanggal 27 Januari 1981. Ah kenapa pada bulan-bulan yang sama ya ? memang bulan-bulan ini merupakan bulan-bulan puncak perubahan musim seantero Indonesia yang kepulauannya berada di sekitar katulistiwa.
Tetapi kenapa kejadian kecelakaan ini di lokasi yang kira-kira sama ?
Ah jangan-jangan barangkali mungkin saja …
Pulau Masalembo sebenarnya sebuah pulau kecil yang berada di ujung Paparan Sunda (hayo masih ingat Paparan Sunda dan Paparan Sahul nggak ?, ini pelajaran SD dulu kan ?). Pulau-pulau kecil ini berada di daerah “pertigaan” laut yaitu laut jawa yang berarah barat timur dan selat Makassar yang memotong berarah utara-selatan.
Pola kedalaman laut di Segitiga Masalembo ini sangat jelas menunjukkan bentuk segitiga yang nyaris sempurna berupa segitiga sama sisi. Lihat gambar dibawah.
Pada peta kedalaman laut atau peta bathymetri diatas dapat dilihat
adanya bentuk kepulauan yang berbentuk segitiga. Tinggian yang terdiri
beberapa pulau-pulau ini saya sebut sebagai “SEGITIGA MASALEMBO”
atau “THE MASALEMBO TRIANGLE“.
Nah, ada apa saja di daerah seputaran Segitiga Masalembo ini. Coba kita buka-buka
dikit-dikit ya. Tapi jangan mengharap banyak dari sisi mistisnya, akan
lebih banyak saya urai sisi kebumian dan kelautannya saja
Pertemuan ARLINDO (Arus Laut Indonesia)
Indonesian Throughflow (ARLINDO), indicate the relationship between the relationship between ARLINDO and El-Nino Southern Oscillation (ENSO) (Source, Gordon, A., 1998)
Di atas ini digambarkan arus laut di Indonesia, terutama Indonesia Timur. Coba perhatikan arus yang melewati Segitiga Masalembo ini. Pada bagian atas (garis hijau) menunjukkan air laut mengalir dari barat memanjang di Laut Jawa, berupa monsoonal stream atau arus musiman. Arus ini sangat dipengaruhi oleh cuaca dan musim. Sedangkan dari Selat Makassar ada arus lain dari utara yang merupakan thermoklin, atau aliran air laut akibat perbedaan suhu lautan. Kedua arus ini bertemu di sekitar Segitiga Masalembo.
Yah, tentusaja arus ini akan sangat mempengaruhi pelayaran laut disini. Arus musiman ini sangat dipengaruhi juga oleh suhu air laut akibat pemanasan matahari tentusaja. Kalau anda masih inget bahwa lintasan matahari itu bergerak bergeser ke-utara-selatan dengan siklus tahunan. Itulah sebabnya pada bulan-bulan Januari yang merupakan saat perubahan arus musiman (monsoon).
Apa menariknya dari ARLINDO ini ? Arus ini membawa air laut dingin dari Samodra Pasifik ke Samodera Indonesia diduga dengan debit hingga 15 juta meterkubik perdetik !!! Dan hampir keseluruhannya melalui Selat Makassar !
Tentunya aliran air sebesar ini bukan sekedar aliran air saja. Banyak aspek lain yang ikut mengalir dengan aliran air sebanyak itu, misalnya akan terdapat pula aliran ikan-ikan laut, aliran sedimen laut, juga aliran temperatur air. Apa saja efek aliran ini dengan proses kelautannya sendiri ? Wah tentunya banyak sekali
Kalau digambarkan secara mudah barangkali profil selat makassar dapat dilihat seperti dibawah ini.
Pada profil dasar selat Makassar diatas terlihat batuan kalimantan dan batuan sulawesi berbeda, kalau masih ingat yang aku tulis tentang pembentukan Patahan-patahan di Jawa di tulisan sebelumnya disini, maka tentunya mudah dimengerti. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan mencolok antara Indonesia barat dengan Indonesia Timur, seperti yg ditulis disini sebelumnya. Kalimantan merupakan bagian dari Paparan Sunda (Indonesia Barat) sedang Sulawesi merupakan bagian dari Indonesia Timur. Nah garis yang membaginya dulu diketemukan oleh Wallace disebut sebagai Garis Wallace (Wallace Line). Garis Wallace ini sebenernya hasil penelitian satwa Indonesia Barat-Timur, namun sebenarnya ada juga implikasi atau manifestasi dari aspek geologis (batuan penyusunnya).
Dari Batuannya kita tahu bahwa dibawah selat makasar ini terdapat tempat yang sangat kompleks geologinya, diatasnya terdapat selat Makassar yang juga memilki karakter khusus di dunia ini dimana mengalirkan air yang sangat besar.
Apa yang terlihat lagi ? Ya tentunya ada aspek meteorologis yang memisahkan antara daerah diatas air dengan daerah diatas daratan yaitu awan. Awan merupakan fenomena khusus yang paling banyak dijumpai diatas daratan. Itulas sebabnya kalau sedang di tengah laut coba tengok ke atas, carilah awan. Awan yang berarak akan lebih banya terdapat di daratan ketimbang di atas lautan seperti gambaran diatas.
Apa lagi selain awan ?
Angin, ya angin juga akan berhembus karena perbedaan tekanan udara
panas. Pada malam hari saat bertiupnya angin darat, para nelayan pergi
menangkap ikan di laut. Sebaliknya pada siang hari saat bertiupnya angin
laut, para nelayan.
Perubahan angin darat laut karena suhu ini berubah dalam siklus harian, namun tentunya ada juga siklus tahunannya atau disebut siklus monsoon. Looh Monsoon, kok sepertinya juga ada monsoonal stream yang ada di Arlindo digambar atas. Ya, memang itulah siklus-siklus arus angin, siklus air itu bertemu bercampur di segitiga Masalembo ini. Runyem kan ?
Seringkali daerah Segitiga Bermuda dihubungkan dengan kondisi magnetisme. Adakah peta magnetik daerah Segitiga Masalembo ini ?
Nah aku beri sekarang peta deklinasi magnetik secara global seperti dibawah ini.
Tiga peta diatas menunjukkan intesitas magnetik total, peta deklinasi, dan perubahan deklinasi tahunan (sumber NOAA). Kalau tertarik detilnya tinggal di klik saja. Yang dapat dilihat dalam ketiga peta itu adalah, tidak adanya sesuatu yang mencolok baik di Segitiga Bermuda maupun di Segitiga Masalembo. Memang sejak dulu seringkali yang menyatakan adanya keanehan kompas magnetik apabila melalui daerah angker ini. Secara fisik (pengukuran magnetik) tidak terlihat anomali itu. Hanya terlihat bahwa Indonesia secara umum merupakan daerah yang memiliki deklinasi dan iklinasi sangat kecil. Dan merupakan daerah yang memiliki total intensitas magnetik rendah, barangkali karena Indonesia merupakan daerah yang relatif “muda” dibandingkan daerah2 lain.
Kalau dibandingkan dengan Segitiga Bermuda, lokasi Segitiga Masalembo juga tidak menunjukkan keanehannya. Sepertinya keangkeran segitiga Masalembo ini lebih ditentukan oleh faktor gangguan alamiah yang bukan mistis. Yang mungkin paling dominan adalah faktor meteorologis termasuk didalamnya faktor cuaca, termasuk didalamnya angin, hujan, awan, kelembaban air dan suhu udara yang mungkin memang merupakan manifestasi dari konfigurasi batuan serta kondisi geologi, oceaografi serta geografi yang sangat unik.
Kalau memang Masalembo Triangle ini banyak menimbulkan masalah transportasi (lalulintas), tentunya perlu rambu-rambu lalulintas laut yang lebih canggih ditempatkan di lokasi ini. Tetapi bukan berarti zona terlarang masa sih kita tidak boleh melewatinya sepanjang masa. Misalnya mercusuar khusus, penempatan radar pemantau. Juga yang tak kalah penting penelitian saintifik tentang perilaku arus air laut, serta cuaca di daerah ini.
Seamount, Si Gunung Raksasa dibawah laut (1. Proses Terbentuknya)
Melanjutkan dongeng sebelumnya disini tentang Seamount atau mudahnya disebut saja gunung laut. Gunung laut ini didunia ada lebih dari 30 000 gunung laut yang ada dibawah samodra. Namun kebanyakan gunung laut ini berupa gunung api yang sudah mati atau sudah tidak aktif lagi.
“Pakdhe bagaimana terbentuknya ? Trus di Indonesia ada berapa ?”
“Sabar Thole, lah ini dicritain dulu bagaimana terbentuknya gunung2 ini ya “
Terbentuknya Gunung Laut
Secara mudah gambar dibawah ini memperlihatkan bagaimana terbentuknya seamount atau gunung laut. Cara plaing mudah barangkali adalah dengan melihat proses tektonik lempeng (plate tectonic) seperti gambar paling atas itu.
Di Daerah pemekaran samodra terjadi proses keluarnya material dari mantel atas yang keluar seperti keluarnya gelembung air pada saat mendidih. Arus berputarnya ini disebut arus konveksi. Persis arus air ketika merebus air. Kalau merebus air yang keluar itu gelembung udara, tetapi ini yang keluar material dari lapisan mantel atas yang cair.
Yang berwarna merah-biru dibawah ini merupakan kerak samodra. Sedangkan yang hijau disebut kerak benua. Kerak samodra ini selalu bertambah atau bergerak karena ada pembentukan kerak baru pada zona pemekaran samodra.
- 1. Pada saat keluar tentusaja ada yang berukuran besar dan membentuk sebuah gunung api bawah laut.
- 2. Gunung api bawah laut ini terbentuk diatas kerak samodra dan terus terbawa oleh kerak samodra menuju zona penunjaman disebelah kanan.
- 3. Semakin jauh dari zona pemekaran, tentusaja material mantel yang cair dan panas ini kehilangan suhunya. sehingga membentuk seamount atau gunung laut yang seringkali berupa gundukan yang tidak lagi berupa gunung api yang aktif.
- 4. Ketika mendekati zona penunjaman tentusaja bagian atas dari kerak samodra ini akan bergesekan dengan kerak benua. Gesekan ini menimbulkan panas dan sering menyebabkan batuan pembentuk kerak samodra ini meleleh. Batuan yang meleleh dan cair ini akan keluar membentuk gunung api seperti yang kita lihat di rentetan Gunung Api sepanjang bagiam barat Sumatra, hingga bagian selatan Jawa. Termasuk Gunung Merapi, Semeru dan gunung api yang lain yang masih aktif.
Seamount (gunung laut) kebanyakan sudah tidak berupa gunung api aktif.
Karena biasanya gunung laut itu tidak lagi mendapatkan pasokan panas, maka materialnya tidak lagi berupa material cair panas seperti sumber dapur magma. Coba bandingkan dengan gunung api di sebelah kanan (pada pinggiran kerak benua) dimana terdapat pasokan material panas hasil gesekan antara kerak samodra dengan kerak benua.
“Fyuh … berarti seamount ini aman ngga bakalan meletus ya Pakdhe”
“Kebanyakan memang begitu thole. Tetapi kalau saja ada yang terus-terusan mensuply material dari mantle atas ini ya tentusaja akan tetep aktif gunung apinya ini.”
“Looh memangnya ada juga Pakdhe ?”
“Ada thole, salah satu yang terkenal adalah kepulauan Hawai”.
Dengan demikian keberadaan gunung laut atau seamount ini tidak perlu ditakutkan berlebihan tetapi harus diperhatikan. Atau lebih tepatnya harus ditelaah dan diteliti, dan dimengerti. Hal ini bukan hanya karena kebencanaan, namun juga karena adanya ‘harta diseputar seamount ini !
Dimana saja Gunung laut (Seamount) disekitar Indonesia ?
Sebenernya banyak sekali seamount yang ada di sekitar Indonesia. Yang terkenal adalah yang berada disebelah selatan Jawa. Salah satu gunungnya ada yang muncul kepermukaan membentuk Pulau Krismas, atau Pulau Natal atau Christmas Island. Pulau ini sangat terkenal sebagai tujuan wisata. Daerah Pulau Natal ini memang tidak termasuk teritorial Indonesia, bahkan masuk Australia.
Pulau Natal atau Chrismas Island, merupakan sebuah kompleks gunung laut (seamount) yang sangat besar. Kompleks Gunung Laut ini memiliki arti khusus dalam proses alam baik keberagaman biologi maupun fisik.
Daerah dangkal dikelilingi lautan dalam ini sering merupakan daerah berkumpulnya ikan-ikan laut karena daerah ini seringkali ditumbuhi karang-karang karena airnya jernih, jauh dari populasi manusia sehingga jauh dari sampah dan polusi. Dengan demikian perlu penelitian khusus untuk mengetahui biodiversity (keberagaman hayati) di lingkungan kompleks gunung laut ini. Keberadaan biodiversity (keberagaman hayati) diseputar gunung laut ini ada harta berupa ikan dan karang yang harus dijaga lingkungannya.
Selain itu gunung laut ini bentuknya sangat tidak merata, sehingga ketika kerak samodra ini menabrak kerak benua, maka akan terjadi ganjalan. Nah ganjalan ini menjadikan proses gempa yang unik.
Gerak Air Laut
A. | Gerak
Air Laut Ada 3 gerakan air laut yang akan kita bahas yaitu: arus laut, gelombang laut, dan pasang surut air laut.
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|